mandapa za

mandapa za

Kamis, 25 Desember 2014

MENGAPA KITA DIUJI OLEH ALLAH SWT

Mengapa kita di uji oleh Allah Swt, sebagai Jawabannya didalam Al-Qur'an Surah Al-Ankabut 2-3
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ (٢)وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ (٣)
“Apakah manusia itu mengira, bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji?.
Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, sehingga Allah mengetahui orang-orang yang benar dan mengetahui orang-orang yang pendusta.”
(Q.S. al-Ankabut [29]: 2-3)
Salah satu bedanya hidup di surga dengan di dunia; di surga, tidak akan ada lagi ujian iman. Sebaliknya, selama masih berada dialam fana, (belum memasuki tahap hidup di alam barzakh), ujian iman tak terelakkan, karena sudah merupakan ketentuan Allah yang sifatnya mutlak.
Dari Firman Allah di atas, kita mengetahui bahwa setiap orang beriman akan diberikan ujian iman oleh Allah SWT. Pernyataan dan pengakuan iman ternyata ada konsekuensinya, antara lain harus siap menghadapi ujian yang diberikan Allah SWT. Diantara hikmahnya adalah untuk membuktikan sejauh mana kebnaran dan kesungguhan kita dalam menyatakan iman, apakah betul-betul bersumber dari keyakinan dan kemantapan serta kesungguhan hati, atau sekedar ikut-ikutan tanpa tahu arah dan tujuan, atau pernyataan iman kita hanya didorong oleh kepentingan sesaat, ingin mendapatkan keberuntungan tanpa mau menghadapi kesulitan.
Di dalam Al-Qur’an surat al-Ankabut [29] ayat 10, Allah SWT menyindir manusia dengan mengatakan, bahwa ada di antara manusia yang mengklaim diri mereka beriman, tapi kalau dirinya diuji dengan kesusahan –karena pernyataan imannya itu—ia tak menerimanya. Padahal ujian iman itu tak dapat dielakkan. Perhatikan firman Allah SWT berikut:
“Apakah kalian mengira akan (dapat) masuk surge sedang belum datang kepada kalian (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kalian? Mereka ditimpa malapetaka dan kesengsaraan serta digoncang (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat”. (Q.S. al-Baqoroh [2]: 214).
******** KESENANGAN DAN KESUSAHAN *********
Ujian iman bisa berupa kesenangan, tetapi pada umumnya lebih banyak yang berupa kesusahan. Allah SWT berfirman:
“…Sungguh akan kami uji (iman) kalian dengan kesusahan dan (dengan) kesenangan. Dan hanya kepada Kamilah kalian akan dikembalikan…” (Q.S. al-Anbiya’ [21]: 35)
Tentang ujian iman berupa kesusahan, Allah memberitahukan:
“Dan sungguh akan Kami uji (iman) kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Q.S. al Baqoroh [2]: 155)
Kalau ujian iman itu berupa kesenangan, kita dituntut agar bersabar dan sekaligus bersyukur. Bersabar agar tidak menjadi sombong, dan bersyukur agar tidak menjadi kufur, sebagaimana ucapan Nabi Sulaiman as yang terrekam di dalam Al-Qur’an.
“…Karunia ini merupakan pemberian Rabbku untuk menguji imanku, apakah aku bersyukur atau aku kufur. Siapa bersyukur maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri, sedang siapa kufur, sesungguhnya Rabbku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” (Q.S. an-Naml [27]: 40).
Banyak oaring yang ketika diuji dengan kesusahan, ia lulus. Sebaliknya ketika ia diuji dengan kesenangan, ia tak lulus.
******** UJIAN IMAN UMAT TERDAHULU *******
Rasulullah SAW mengisahkan betapa beratnya perjuangan orang-orang terdahulu dalam perjuangan mereka mempertahankan iman mereka, sebagaimana yang dituturkan kepada Sahabat Khabbab Ibnul Arats ra. “Umat sebelum kalian (karena beriman kepada Allah), ada yang disisir dengan sisir besi (sehingga) terkelupas dangin dan tulang-tulangnya, tetapi tidak memalingkannya dari agamanya, dan apapula yang diletakkan di atas kepada gergaji sampai terbelah dua, namun tidak memalingkannya dari agamanya…” (Shahih Al-Bukhari)
Dibandingkan dengan perjuangan Rasulullah SAW dan para Mujahid terdahulu dalam mempertahankan iamn mereka, dan hebat serta beratnya pengirbanan mereka dalam memperjuangkan iman mereka, baik harta, tenaga, pikiran, bahkan nyawa, rasanya ujian iman yang kita rasakan saat ini belum seberapa. Umat terdahulu merasa malu meminta balasan yang besar dari Allah SWT kalau pengorbanan mereka belum banyak. Karena ujian iamn memang ,merusak keharusan, maka kita berdoa kepada Allah SWT, mudah-mudahann Allah memberikan kemampuan untuk bersikap sabar ketika iman kita diuji oleh-Nya.
Diantara hikmah ujian keimannan yang diberikan Allah SWT adalah untuk membuktikan sejauh mana kebenaran dan kesungguhan seseorang dalam menyatakan iman; Apakah betul-betul bersumber dari keyakinan dan kemantapan serta kesungguhan hati, atau sekedar ikut-ikutan tanpa tahu arah dan tujuan.
******** JANGAN BERBURUK SANGKA TERHADAP ALLAH SWT ******
Sikap manusia terhadap ujian iman tentu bisa bermacam-macam. Ada yang sabar sambil terus menerus berupaya dan berdoa kepada Allah SWT agar diberi kekuatan dan solusi, tetapi ada juga yang tak sabar sambil berburuk sangka kepada Allah SWT, marah-marah dan menyalahkan-Nya. Kalau kita menemukan orang yang tidak sabar dalam menghadapai ujian iman, sikap yang islami bukan mencela atau mengejeknya, tetapi mendoakannya semoga Allah SWT menunjuki hatinya agar ia sabar menghadapi ujian iman dari Allah itu, sekaligus kita berdoa kepada Allah SWT semoga kita juga demikian. Sebab marah dan menyalahkan Allah yang menurunkan ujian iman itu termasuk perbuatan dosa, sebagaiman firman-Nya berikut:
“Katakanlah: “Rabb-ku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang Nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui.” (Q.S. al-A’raf [7]: 33)
********* CARA ALLAH SWT MENYAYANGI HAMBANYA ********
Terkadang orang Mukmin yang shalih dituduh tidak disayangi Allah hanya karena dirinya selalu ditimpa musibah beruntun, hidupnya tidak sejahtera, selalu diterpa kesulitan hidup dan semacamnya. Musibah kalau menimpa orang yang tak beriman, memang merupakan ‘azab’, karena Allah SWT benci dan murka kepadanya, Tetapi kalau yang tertimpa musibah itu adalah orang-orang yang beriman, berarti Allah SWT menyayanginya. Ini kita ketahui dari sabda Nabi yang mengatakan:“Siapa yang disayangi Allah, diberi-Nya musibah.”
Ketika mengomentari hadits ini, Abu Ubaid al-Harawi mengatakan; makna hadits ini ialah Allah SWT menguji iman orang yang dikasihi-Nya dengan berbagai musibah, agar yang bersangkutan memperoleh pahala.
Dalam hadits lain, Nabi SAW mengatakan:
“Perumpamaan oaring Mukmin seperti tanaman, tidak berhenti-henti angina meniupnya dan orang Mukmin senantiasa menerima cobaan. Sedangka perumpamaan orang munafik seperti pohon yang kuat tidak pernah digoyangkan angina sampai ia ditebang.” (al-Hadits)
Jadi, orang-orang yang dikasihi Allah SWT ternyata diberi-Nya ujian berupa musibah. Nabi Zakaria as misalnya, digergaji sampai tewas. Nabi Yahya as, putera kandungnya disembelih hidup-hidup sampai tewas. Nabi Yunus as dilemparkan ke tengah lautan luas tanpa pelampung dan alat, yang dapat dimanfaatkan untuk menyelamatkan diri dari ganasnya ombak laut.
Tentang musibah yang menimpa Nabi-nabi ini, Mush’ab ibnu Sa’d pernah bertanya kepada Nabi Muhammad SAW seperti berikut:
“Ya Rasulullah, manusia mana yang paling berat menanggungkan bala’ (ujian iman)?”. Jawab Nabi: “Para Nabi, kemudian yang seumpamanya. Kalau seseorang ringan (lemah) dalam din (agama)nya, maka ia diberikan cobaan sesuai dengan kadar din-nya. Dan kalau agama seseorang kuat, maka kadar ujian iman yang Allah berlakukan terhadap dirinya berat. Senantiasa seorang hamba menerima bala’, sehingga dosanya hapus…” (H.R. al-Bukhari)
Di sisi lain, Allah SWT memberika ujian iman kepada hamba-Nya untuk mengetes/menguji siapa yang sudi berjihad, siapa yang baik, siapa yang sabar, siapa pula yang tidak. Allah SWT berfirman:
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surge, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara kamu, dan belum nyata orang-orang yang sabar.” (Q.S. Ali Imron [3]: 142)
Perumpamaan orang Mukmin adalah seperti tanaman, tidak berhenti angina meniupnya dan orang mukmin senantiasa menerima cobaan. Sedangkan perumpamaan orang Munafik adalah seperti pohon yang kuat, tetapi tidak pernah digoyang oleh angina sampai ia ditebang.
“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (Munafik) dari yang baik (Mukmin)…” (Q.S. al-Baqoroh [2]: 179).
Dan jangan sampai dilupakan, musibah atau kesusahan yang menimpa orang Mukmin akan menyebabkan terhapusnya dosa-dosa kecilnya. Dasarnya antara lain hadits dari Aisyah ra memberitakan, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Musibah berupa apa saja yang menimpa orang Muslim akan menyebabkan Alah menghapuskan dosanya, walaupun (musibah itu) hanya berupa duri yang menusuknya.” (Shahih al-Bukhari).
Apapun bentuk ujian iamn, terutama kesusahan, tidak ada sikap lain kecuali sabar. Terhadap orang-orang yang sedang ditimpa musibah atau kesusahan, Allah SWT berpesan:
“…Dan berikanlah berita genbira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata: “Sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhnya kami akan kembali kepada-Nya…” (Q.S. al-Baqoroh [2]: 155-156).
Memang sabar ketika menerima musibah bukan mudah. Namun itulah bukti dan manifestasi iman, yang berarti harus diterapkan. Dan biasanya tidak ringan dan tentu tidak enak. Sebab kalau rinagn, bukan ujian iman namanya.
Di dalam Musnad Ahamd dikatakan: “Ketahuilah!, dalam sikap sabar terhadap apa yang tak disukai (seperti penyakit), terhadap hikmah yang besar. Dan sesungguhnya pertolongan (dari Allah) bersama kesabaran, sedang kelapangan bersama kesukaran, dan kesulitan bersama kemudahan.” (Musnad Ahmad : 2666)
Mudah-mudahan Allah memberi kita kekuatan dan ketabahan ketika Allah menguji iman kita, baik berupa kesusahan maupun kesenangan. Semoga kesabaran kita membuahkan hasil, berupa rahmat dari Allah, baik di dunia maupun di akhirat kelak. ***

Jumat, 19 Desember 2014

TUNTUNAN ISLAM DI MUSIM HUJAN

Sesungguhnya turunnya hujan adalah rahmat dan fadilah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. sebagaimana firmannya,
وَهُوَ الَّذِي يُنَزِّلُ الْغَيْثَ مِنْ بَعْدِ مَا قَنَطُوا وَيَنْشُرُ رَحْمَتَهُ ۚ وَهُوَ الْوَلِيُّ الْحَمِيدُ
“Dan Dialah Yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dialah Yang Maha Pelindung lagi Maha Terpuji.” (QS. Asy-Syura: 28).
Oleh karena itu, setelah hujan turun, kita disunnahkan untuk mengucapkan kalimat.
مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللهِ وَرَحْمَتِهِ
“Kita diberi hujan atas keutamaan dan rahmat dari Allah.”
Ada beberapa hal, hukum-hukum syariat terkait dengan turunnya hujan:
Pertama: Disunnahkan mengucapkan doa “Allahumma shayiban nafi’a” saat hujan turun.
Allahumma shayiban nafi’a artinya adalah ya Allah turunkanlah hujan yang bermanfaat. Yaitu hujan yang tidak memberikan bahaya dan merusak. Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَىْ الْمَطَرَ، قَالَ: «اَللَّهُمَّ صَيِبًا نَافِعًا» أَخْرَجَهُ البُخَارِيُ
“Apabilah melihat hujan turun, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, ‘Allahumma shayiban nafi’a’.” (HR. Bukhari).
Dan disunnahkan juga mengucapkan “Muthirnaa bifadh-lillah warahmatihi” artinya kita diberi hujan karena keutamaan dan kasih sayang Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa Allah Ta’ala berfirman,
أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِى مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ. فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَاوَكَذَا. فَذَلِكَ كَافِرٌ بِى مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ. متفق عليه
“Pada pagi hari, di antara hamba-Ku ada yang beriman kepada-Ku dan ada yang kafir. Barang siapa yang mengatakan ’muthirna bi fadhlillahi wa rahmatih’ (kita diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah) maka dialah yang beriman kepada-Ku dan kufur terhadap bintang-bintang. Sedangkan yang mengatakan ‘muthirna binnau kadza wa kadza’ (kami diberi hujan karena sebab bintang ini dan ini) maka dialah yang kufur kepadaku dan beriman kepada bintang-bintang.’”
Adapun ketika mendengarkan petir, kita dianjurkan untuk mengucapkan,
سُبْحَانَ الَّذِيْ يُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمِدِهِ وَالْمَلاَئِكَةُ مِنْ خِيْفَتِهِ
Subhaanalladzi yusabbihur ra’du bihamdihi wal malaaikatu min khiifatihi
“Maha Suci Allah yang halilintar bertasbih dengan memujiNya, begitu juga para malaikat, karena takut kepadaNya”.
Shahih dari kitab al-Muwaththa karya Imam Malik, apabila Abdullah bin Zubair mendengar bunyi guntur atau petir, ia berhenti berbicara lalu membaca,
سُبْحَانَ الَّذِيْ يُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمِدِهِ وَالْمَلاَئِكَةُ مِنْ خِيْفَتِهِ
Subhaanalladzi yusabbihur ra’du bihamdihi wal malaaikatu min khiifatihi
Kedua: Dianjurkan untuk memanjatkan doa saat hujan turun.
Waktu hujan adalah waktu mustajab, waktu yang baik untuk berdoa. Dari Atha, ia berkata, “Ada tiga waktu yang pada saat itu dibuka pintu-pintu langit, maka perbanyaklah doa pada waktu-waktu tersebut; pada saat hujan turun, pada saat berjumpa dengan pasukan musuh –yakni saat berjihad-, dan di saat adzan.” Dishaihkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar.
Ketiga: Menjamak shalat ketika hujan.
Menjamak shalat atau menggabungkan dua shalat zuhur dengan ashar dan magrib dengan isya dikerjakan dalam satu waktu, hukumnya diperbolehkan. Menurut Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma hal itu diperbolehkan. Diperbolehkan berbeda dengan disunnahkan. Pendapat beliau juga diikuti oleh imam-imam madzhab. Mungkin pakaian seseorang basah jika dia bolak-balik ke masjid atau jalanan becek, dll. Oleh karena itu, Abdullah bin Abbas mengatakan, “Nabi menginginkan agar umatnya tidak merasa berat.” (Riwayat Muslim).
Jamak ini dilakukan di masjid, karena alasan diperbolehkannya adalah untuk memperingan. Hal ini telah dipraktikkan oleh Abdullah bin Umar dan selain beliau. Dan keringanan ini bukan diperuntukkan bagi mereka yang shalat di selain masjid.
Jadi, jamak yang dilakukan adalah jamak taqdim bukan jamak takhir.
Keempat: Dianjurkan juga untuk mengeluarkan barang yang tidak rusak terkena hujan.
Hal ini dilakukan berharap berkah saat awal turunnya hujan. Ibnu Abi Mulaikan berkata, “Apabila hujan turun, Ibnu Abbas berkata, ‘Hai budak perempuan, keluarkanlah pelanaku dan bajuku’. Kemudian beliau membaca ayat,
وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَكًا
“Dan Kami turunkan dari langit air yang penuh keberkahan…” (QS. Qaf: 9).
Firman-Nya juga,
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf: 96).
Hal ini bukan berarti melimpahnya kenikmatan –di antaranya hujan- sebagai tanda ridha Allah terhadap suatu kaum. Bisa jadi hal itu merupakan istidraj, siksa yang ditunda. Allah Ta’ala berfirman,
فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّىٰ إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am: 44).
Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari sahabat Abdullah bin Umar:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ – رضى الله عنهما – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « مَفَاتِيحُ الْغَيْبِ خَمْسٌ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ اللَّهُ لاَ يَعْلَمُ مَا فِى غَدٍ إِلاَّ اللَّهُ ، وَلاَ يَعْلَمُ مَا تَغِيضُ الأَرْحَامُ إِلاَّ اللَّهُ وَلاَ يَعْلَمُ مَتَى يَأْتِى الْمَطَرُ أَحَدٌ إِلاَّ اللَّهُ ، وَلاَ تَدْرِى نَفْسٌ بِأَىِّ أَرْضٍ تَمُوتُ ، وَلاَ يَعْلَمُ مَتَى تَقُومُ السَّاعَةُ إِلاَّ اللَّهُ » .
Dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah bersabda, “Kunci-kunci perkara ghaib ada lima, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah: (1) Tidak ada yang mengetahui apa yang terjadi besok kecuali Allah, (2) tidak ada yang mengetahui apa yang di rahim kecuali Allah, (3) tidak ada yang mengetahui kapan turunnya hujan kecuali Allah, (4) tidak ada jiwa yang mengetahui di mana akan mati, dan (5) tidak ada yang mengetahui kapan kiamat terjadi kecuali Allah.” (HR. Bukhari).
Dari hadits ini, hendaknya bagi badan metereologi dan geofisika tidak memastikan bahwa hujan akan turun pada hari ini di tempat ini dan itu. Hendaknya mereka mengatakan, diperkirakan hujan akan turun hari ini di tempat ini. Mereka ucapkan dalam bentuk prediksi dan sangkaan, karena kepastiannya hanya Allah saja yang mengetahuinya. Betapa banyak orang yang berani memastikan hujan akan turun pada waktu-waktu tertentu, namun ternyata hujan tidak turun.
Kita memohon kepada Allah agar Dia menjadikan apa yang dianugerakan-Nya kepada kita, berupa hujan, adalah sebagai rahmat dan kasih sayang bagi kita dan negerI-negeri kita.
Demikian, mohon dibenarkan kalau ada yang salah...
wallahu a'alam bilmuroodih...
ditulis ulang : Muhammad Maman ZA
sumber dari : www.KhotbahJumat.com