Sesungguhnya turunnya hujan adalah
rahmat dan fadilah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. sebagaimana firmannya,
وَهُوَ الَّذِي يُنَزِّلُ الْغَيْثَ مِنْ بَعْدِ مَا قَنَطُوا وَيَنْشُرُ
رَحْمَتَهُ ۚ وَهُوَ الْوَلِيُّ الْحَمِيدُ
“Dan Dialah Yang menurunkan hujan
sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dialah Yang Maha
Pelindung lagi Maha Terpuji.” (QS. Asy-Syura: 28).
Oleh karena itu, setelah hujan turun,
kita disunnahkan untuk mengucapkan kalimat.
مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللهِ وَرَحْمَتِهِ
“Kita diberi hujan atas keutamaan dan
rahmat dari Allah.”
Ada beberapa hal, hukum-hukum syariat
terkait dengan turunnya hujan:
Pertama: Disunnahkan mengucapkan doa “Allahumma shayiban nafi’a” saat hujan turun.
Allahumma shayiban nafi’a artinya adalah
ya Allah turunkanlah hujan yang bermanfaat. Yaitu hujan yang tidak memberikan
bahaya dan merusak. Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَىْ
الْمَطَرَ، قَالَ: «اَللَّهُمَّ صَيِبًا نَافِعًا» أَخْرَجَهُ البُخَارِيُ
“Apabilah melihat hujan turun, maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, ‘Allahumma shayiban nafi’a’.”
(HR. Bukhari).
Dan disunnahkan juga mengucapkan
“Muthirnaa bifadh-lillah warahmatihi” artinya kita diberi hujan karena
keutamaan dan kasih sayang Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda bahwa Allah Ta’ala berfirman,
أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِى مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا
بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ. فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ
وَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَاوَكَذَا. فَذَلِكَ كَافِرٌ بِى
مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ. متفق عليه
“Pada pagi hari, di antara hamba-Ku ada
yang beriman kepada-Ku dan ada yang kafir. Barang siapa yang mengatakan
’muthirna bi fadhlillahi wa rahmatih’ (kita diberi hujan karena karunia dan
rahmat Allah) maka dialah yang beriman kepada-Ku dan kufur terhadap
bintang-bintang. Sedangkan yang mengatakan ‘muthirna binnau kadza wa kadza’
(kami diberi hujan karena sebab bintang ini dan ini) maka dialah yang kufur
kepadaku dan beriman kepada bintang-bintang.’”
Adapun ketika mendengarkan petir, kita
dianjurkan untuk mengucapkan,
سُبْحَانَ الَّذِيْ يُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمِدِهِ وَالْمَلاَئِكَةُ مِنْ
خِيْفَتِهِ
Subhaanalladzi yusabbihur ra’du
bihamdihi wal malaaikatu min khiifatihi
“Maha Suci Allah yang halilintar
bertasbih dengan memujiNya, begitu juga para malaikat, karena takut kepadaNya”.
Shahih dari kitab al-Muwaththa karya
Imam Malik, apabila Abdullah bin Zubair mendengar bunyi guntur atau petir, ia
berhenti berbicara lalu membaca,
سُبْحَانَ الَّذِيْ يُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمِدِهِ وَالْمَلاَئِكَةُ مِنْ
خِيْفَتِهِ
Subhaanalladzi yusabbihur ra’du
bihamdihi wal malaaikatu min khiifatihi
Kedua: Dianjurkan untuk memanjatkan doa saat hujan turun.
Waktu hujan adalah waktu mustajab, waktu
yang baik untuk berdoa. Dari Atha, ia berkata, “Ada tiga waktu yang pada saat
itu dibuka pintu-pintu langit, maka perbanyaklah doa pada waktu-waktu tersebut;
pada saat hujan turun, pada saat berjumpa dengan pasukan musuh –yakni saat
berjihad-, dan di saat adzan.” Dishaihkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar.
Ketiga: Menjamak shalat ketika hujan.
Menjamak shalat atau menggabungkan dua
shalat zuhur dengan ashar dan magrib dengan isya dikerjakan dalam satu waktu,
hukumnya diperbolehkan. Menurut Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma hal itu
diperbolehkan. Diperbolehkan berbeda dengan disunnahkan. Pendapat beliau juga
diikuti oleh imam-imam madzhab. Mungkin pakaian seseorang basah jika dia
bolak-balik ke masjid atau jalanan becek, dll. Oleh karena itu, Abdullah bin
Abbas mengatakan, “Nabi menginginkan agar umatnya tidak merasa berat.” (Riwayat
Muslim).
Jamak ini dilakukan di masjid, karena
alasan diperbolehkannya adalah untuk memperingan. Hal ini telah dipraktikkan
oleh Abdullah bin Umar dan selain beliau. Dan keringanan ini bukan
diperuntukkan bagi mereka yang shalat di selain masjid.
Jadi, jamak yang dilakukan adalah jamak
taqdim bukan jamak takhir.
Keempat: Dianjurkan juga untuk mengeluarkan barang yang tidak rusak terkena hujan.
Hal ini dilakukan berharap berkah saat
awal turunnya hujan. Ibnu Abi Mulaikan berkata, “Apabila hujan turun, Ibnu
Abbas berkata, ‘Hai budak perempuan, keluarkanlah pelanaku dan bajuku’.
Kemudian beliau membaca ayat,
وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَكًا
“Dan Kami turunkan dari langit air yang
penuh keberkahan…” (QS. Qaf: 9).
Firman-Nya juga,
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ
بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا
كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Jikalau sekiranya penduduk
negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada
mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami)
itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf: 96).
Hal ini bukan berarti melimpahnya
kenikmatan –di antaranya hujan- sebagai tanda ridha Allah terhadap suatu kaum.
Bisa jadi hal itu merupakan istidraj, siksa yang ditunda. Allah Ta’ala
berfirman,
فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ
شَيْءٍ حَتَّىٰ إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ
مُبْلِسُونَ
“Maka tatkala mereka melupakan
peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua
pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan
apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan
sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am:
44).
Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits
dari sahabat Abdullah bin Umar:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ – رضى الله عنهما – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه
وسلم – قَالَ « مَفَاتِيحُ الْغَيْبِ خَمْسٌ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ اللَّهُ لاَ
يَعْلَمُ مَا فِى غَدٍ إِلاَّ اللَّهُ ، وَلاَ يَعْلَمُ مَا تَغِيضُ الأَرْحَامُ
إِلاَّ اللَّهُ وَلاَ يَعْلَمُ مَتَى يَأْتِى الْمَطَرُ أَحَدٌ إِلاَّ اللَّهُ ،
وَلاَ تَدْرِى نَفْسٌ بِأَىِّ أَرْضٍ تَمُوتُ ، وَلاَ يَعْلَمُ مَتَى تَقُومُ
السَّاعَةُ إِلاَّ اللَّهُ » .
Dari Ibnu
Umar bahwasanya Rasulullah bersabda, “Kunci-kunci perkara ghaib ada lima, tidak
ada yang mengetahuinya kecuali Allah: (1) Tidak ada yang mengetahui apa yang
terjadi besok kecuali Allah, (2) tidak ada yang mengetahui apa yang di rahim
kecuali Allah, (3) tidak ada yang mengetahui kapan
turunnya hujan kecuali Allah, (4) tidak ada jiwa yang mengetahui di
mana akan mati, dan (5) tidak ada yang mengetahui kapan kiamat terjadi kecuali
Allah.” (HR. Bukhari).
Dari hadits ini, hendaknya bagi badan
metereologi dan geofisika tidak memastikan bahwa hujan akan turun pada hari ini
di tempat ini dan itu. Hendaknya mereka mengatakan, diperkirakan hujan akan
turun hari ini di tempat ini. Mereka ucapkan dalam bentuk prediksi dan
sangkaan, karena kepastiannya hanya Allah saja yang mengetahuinya. Betapa
banyak orang yang berani memastikan hujan akan turun pada waktu-waktu tertentu,
namun ternyata hujan tidak turun.
Kita memohon kepada Allah agar Dia
menjadikan apa yang dianugerakan-Nya kepada kita, berupa hujan, adalah sebagai
rahmat dan kasih sayang bagi kita dan negerI-negeri kita.
Demikian, mohon dibenarkan kalau ada yang salah...
wallahu a'alam bilmuroodih...
ditulis ulang : Muhammad Maman ZA
sumber dari : www.KhotbahJumat.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar