mandapa za
Jumat, 17 Januari 2014
JANGAN IKUT MERAYAKAN TAHUN BARU MASEHI
Al-Habib Munzir Al-Musawa berkata :
JANGAN SAMPAI MENIUP TEROMPET DI MALAM TAHUN BARU
SULTHANUL QULUB, HABIBANA MUNZIR BIN FUAD ALMUSAWA berpesan:
“ HARI YANG PALING BURUK DI ATAS BUMI ADALAH HARI PERGANTIAN TAHUN, DIMANA ORANG-ORANG BERJINGKRAK DI ATAS BUMI LUPA SAMA ALLAH, LUPA SAMA SHOLAT, LUPA SAMA DZIKIR LUPA UNTUK MENDEKAT DAN ISTIGHFAR”
BERHATI-HATILAH !!! JANGAN SAMPAI MENIUP TEROMPET DI MALAM TAHUN BARU, terompet itu mainan dan boleh anak-anak kita memainkannya, NAMUN JANGAN DI MALAM TAHUN BARU.
Karena meniup terompet di malam tahun baru itu seakan-akan menampakkan kemenangan dakwah non muslim di bibir kita atau di bibir anak-anak kita, mereka menang dan kita kalah.
Terompet itu adalah terompet kemenangan mereka, namun kalau ditiup selain malam tahun baru itu lain lagi, itu dianggap mainan anak-anak.
Maka yang mempunyai niat untuk jual terompet di malam tahun baru gagalkan niatnya, lebih baik niat jual siomay saja di acara malam tahun baru.
Terus orang yang jual terompet bib gimana hukumnya?,jangan kita ganggu kasihan, kalau kita mau jika ada orang yang jual terompet maka kita borong semuanya kita bayar kemudian kita bakar.
Daripada dibeli orang lain dan di malam tahun baru akan ramai dengan bunyi terompet yang mengumandangkan kemenangan non muslim, maka lebih baik kita borong kemudian kita bakar
Kamis, 16 Januari 2014
USIA 14 TAHUN RASULULLAH SAW. MENGGEMBALA KAMBING
Pada saat usia 14 tahun, beliau Saw. ikut menyaksikan perang Fijar, yaitu perang antara suku Quraisy dan suku Qais. Dan beliau Saw. pun turut menyaksikan perdamaiannya yang sangat dibanggakan itu.
Pada masa mudanya itu, beliau Saw. sering menyibukkan diri dengan menggembala kambing. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Ra. dalam kitab al-Bidayah wa an-Nihayah juz 1 halaman 295:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم " ما بعث الله نبيا إلا راعي الغنم " فقال له أصحابه " وأنت يا رسول الله ؟". قال "وأنا رعيتها لأهل مكة بالقراريط ".
Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya tidaklah Allah Swt. mengutus seorang nabi, kecuali NABI tersebut pernah menggembala kambing.”
Para sahabat bertanya: “Dan juga Engkau wahai Rasulullah?”
Rasulullah Saw. menjawab: “Benar, aku telah menggembalakan kambing milik penduduk Makkah dengan mendapati upah beberapa qirath (nilai uang masa itu).”
Dan pada juz 1 halaman 286 dalam kitab yang sama disebutkan: “Sesungguhnya beliau Saw. tumbuh berkembang dalam asuhan Sayyid Abu Thalib. Senantiasa dijaga oleh Allah Swt. dari segala adat dan perbuatan keji kaum jahiliyyah. Karena Allah Swt. telah menghendaki untuk menganugerahkan kemuliaan kepada beliau Saw.
Sampai beliau Saw. tumbuh menjadi pemuda yang paling sempurna kepribadiannya, paling mulia cara bergaulnya dengan kaumnya, paling sabar, paling jujur perkataannya, dan senantiasa menjauhi segala perbuatan nista dan jahat. Sama sekali tidak pernah bermuka dua (dusta) kepada siapapun, juga tidak pernah konflik dengan siapapun dan paling teguh menjaga amanah. Maka kaumnya menjuluki beliau Saw. dengan gelar “al-Amin”, yakni orang yang terpercaya. Dan Allah Swt. senantiasa melimpahkan sifat-sifat yang terpuji kepada beliau Saw.
Pada masa mudanya itu, beliau Saw. sering menyibukkan diri dengan menggembala kambing. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Ra. dalam kitab al-Bidayah wa an-Nihayah juz 1 halaman 295:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم " ما بعث الله نبيا إلا راعي الغنم " فقال له أصحابه " وأنت يا رسول الله ؟". قال "وأنا رعيتها لأهل مكة بالقراريط ".
Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya tidaklah Allah Swt. mengutus seorang nabi, kecuali NABI tersebut pernah menggembala kambing.”
Para sahabat bertanya: “Dan juga Engkau wahai Rasulullah?”
Rasulullah Saw. menjawab: “Benar, aku telah menggembalakan kambing milik penduduk Makkah dengan mendapati upah beberapa qirath (nilai uang masa itu).”
Dan pada juz 1 halaman 286 dalam kitab yang sama disebutkan: “Sesungguhnya beliau Saw. tumbuh berkembang dalam asuhan Sayyid Abu Thalib. Senantiasa dijaga oleh Allah Swt. dari segala adat dan perbuatan keji kaum jahiliyyah. Karena Allah Swt. telah menghendaki untuk menganugerahkan kemuliaan kepada beliau Saw.
Sampai beliau Saw. tumbuh menjadi pemuda yang paling sempurna kepribadiannya, paling mulia cara bergaulnya dengan kaumnya, paling sabar, paling jujur perkataannya, dan senantiasa menjauhi segala perbuatan nista dan jahat. Sama sekali tidak pernah bermuka dua (dusta) kepada siapapun, juga tidak pernah konflik dengan siapapun dan paling teguh menjaga amanah. Maka kaumnya menjuluki beliau Saw. dengan gelar “al-Amin”, yakni orang yang terpercaya. Dan Allah Swt. senantiasa melimpahkan sifat-sifat yang terpuji kepada beliau Saw.
DETIK-DETIK RASULULLAH SAW. MELEPAS MASA LAJANG (JOMBLO)
Sebenarnya sudah banyak dari bangsawan Quraisy yang melamar Khadijah Ra. Akan tetapi Sayyidah Khadijah Ra. menolak. Karena ia sangat mengharapkan untuk menjadi istri Nabi Akhir Zaman tersebut.
Tak lama kemudian Sayyidah Khadijah Ra. menemui pamannya yang bernama Waraqah bin Naufal yang beragama Nasrani dan berpegangan pada kitab Injil yang masih murni. Lalu Sayyidah Khadijah Ra. menceritakan kepadanya tentang berita yang telah ia dapati. Saat itu juga Waraqah bin Naufal berkata: “Wahai Khadijah, jika berita yang telah engkau dapati itu benar, maka Muhammad adalah Nabi Agung yang ditunggu-tunggu. Dan sesungguhnya saya telah mengetahui dari kitab Injil bahwa telah tiba saatnya pada umat sekarang ini nabi yang ditunggu-tunggu.”
Keyakinan Sayyidah Khadijah Ra. pun semakin memuncak. Maka setelah 2 bulan 20 hari dari kepulangan beliau Saw. dari Syam, Sayyidah Khadijah Ra. mengutus seorang wanita yang bernama Nafisah binti Muniyah untuk berusaha agar beliau Saw. mau menjadi suaminya. Kemudian Nafisah mendatangi beliau Saw. dan berkata: “Wahai Tuan Muhammad, apa yang menyebabkan Anda sampai sekarang ini belum menikah?”
Beliau Saw. menjawab dengan jujur: “Aku belum mempunyai biaya untuk menikah.”
Lalu Nafisah berkata: “Jika seandainya ada seorang wanita yang sangat kaya raya, sangat cantik dan anggun berwibawa, sangat mulia kedudukannya dan suci kepribadiannya, maukah engkau menikah dengannya?”
Beliau Saw. bertanya: “Siapakah wanita itu?”
Nafisah menjawab: “Dia adalah Sayyidah Khadijah Ra.”
Beliau Saw. lalu berkata: “Bagaiamana caranya saya bisa menikah dengannya?”
Waktu itu juga Nafisah segera pergi dan menghadap Sayyidah Khodijah Ra. dengan membawa kabar gembira yang sangat diharapkannya dan menceritakan pembicaraannya dengan beliau Saw. Kemudian Sayyidah Khadijah Ra. mengutusnya lagi agar memberitahu kepada beliau Saw. bahwa dirinya akan datang melamar.
Sayyidah Khadijah Ra. juga mengutus Nafsiah untuk memanggil pamannya yang bernama Amar bin Asad untuk menjadi walinya. Pada saat itu pula beliau Saw. memberitahukan paman-pamannya akan hal tersebut. Dan merekapun menyambut berita tersebut dengan penuh kegembiraan.
Tak lama kemudian beliau Saw. pergi ke rumah Sayyidah Khadijah Ra. dengan didampingi kedua pamannya, Sayyid Abu Thalib dan Sayyidina Hamzah, untuk melamarnya. Dan juga hadir dalam acara tersebut para bangsawan Quraisy, diantaranya Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq Ra.
Kemudian Sayyid Abu Thalib melamar Sayyidah Khodijah Ra. kepada pamannya yang bernama Amar bin Asad untuk beliau Saw. Akhirnya Amar bin Asad pun menikahkan Sayyidah Khodijah Ra. dengan beliau Saw. dengan mahar 400 dirham yang dibayarkan tunai oleh Sayyid Abu Thalib. Pada saat itu usia beliau Saw. adalah 25 tahun dan Sayyidah Khadijah berusia 40 tahun.
Selesainya pernikahan tersebut, beliau Saw. mengadakan Walimatul ‘Arus dengan memotong onta. Begitupula Sayyidah Khadijah Ra., ia merayakan pernikahannya bersama wanita-wanita Quraisy untuk mengungkapkan rasa kebahagiaan dan keberuntungan atas tercapainya harapan menjadi istri beliau Saw.
Disebutkan dalam kitab Nuzhat al-Majalis juz 2 halaman 130: “Setelah usainya pernikahan tersebut, Sayyidah Khadijah Ra. mendengar dari orang-orang yang iri dengki mengatakan: “Bagaimana Khadijah mau menikah dengan orang yang faqir?”
Sayyidah Khadijah Ra. pun marah atas perkataan tersebut yang ia anggap telah melecehkan dan menghina beliau Saw. Kemudian Sayyidah Khadijah memanggil para bangsawan Quraisy itu dan berkata: “Wahai bangsawan-bangsawan Quraisy, saksikanlah sesungguhnya aku telah memberikan semua yang aku miliki kepada Muhammad. Jika ia masih mau denganku, maka itu adalah kebijakan pribadinya yang luhur.”
Para bangsawan Quraisy yang hadir pun menjadi takjub dan kagum atas prilaku Khadijah Ra. yang sangat mulia. Begitupula beliau Saw. bangga atas prilaku Khadijah Ra. dengan berkata:
بما أكافئ خديجة
“Bagaimanakah aku bisa membalas atas kebijakannya?”
Cinta Sayyidah Khadijah Ra. begitu memuncak kepada beliau Saw. Ia rela mengorbankan jiwa dan raganya demi untuk mengabdi kepada beliau Saw. Sehingga tahun demi tahun kehidupan beliau Saw. bersama Sayyidah Khadijah Ra. penuh dengan ketenangan, kecintaan dan kasih sayang.
Disebutkan dalam kitab as-Sirah an-Nabawiyyah juz 1 halaman 163: “Sesungguhnya beliau Saw. dengan belas kasih sayangnya senantiasa memberi makan kepada orang yang tidak mampu (miskin). Begitu juga beliau Saw. seringkali melakukan thawaf (mengelilingi Ka’bah 7 kali). Dan saat itu Ka’bah masih dipenuhi dengan berhala-berhala. Dan tidaklah ada sesuatu yang paling dibenci oleh beliau Saw. melebihi berhala. Setiap bulan Ramadhan, beliau Saw. selalu berkhalwat di gua Hira’. Sedangkan sang istri, Sayyidah Khadijah Ra., selalu mendatangi beliau Saw. dengan membawakan makanan dan minuman.”
Tak lama kemudian Sayyidah Khadijah Ra. menemui pamannya yang bernama Waraqah bin Naufal yang beragama Nasrani dan berpegangan pada kitab Injil yang masih murni. Lalu Sayyidah Khadijah Ra. menceritakan kepadanya tentang berita yang telah ia dapati. Saat itu juga Waraqah bin Naufal berkata: “Wahai Khadijah, jika berita yang telah engkau dapati itu benar, maka Muhammad adalah Nabi Agung yang ditunggu-tunggu. Dan sesungguhnya saya telah mengetahui dari kitab Injil bahwa telah tiba saatnya pada umat sekarang ini nabi yang ditunggu-tunggu.”
Keyakinan Sayyidah Khadijah Ra. pun semakin memuncak. Maka setelah 2 bulan 20 hari dari kepulangan beliau Saw. dari Syam, Sayyidah Khadijah Ra. mengutus seorang wanita yang bernama Nafisah binti Muniyah untuk berusaha agar beliau Saw. mau menjadi suaminya. Kemudian Nafisah mendatangi beliau Saw. dan berkata: “Wahai Tuan Muhammad, apa yang menyebabkan Anda sampai sekarang ini belum menikah?”
Beliau Saw. menjawab dengan jujur: “Aku belum mempunyai biaya untuk menikah.”
Lalu Nafisah berkata: “Jika seandainya ada seorang wanita yang sangat kaya raya, sangat cantik dan anggun berwibawa, sangat mulia kedudukannya dan suci kepribadiannya, maukah engkau menikah dengannya?”
Beliau Saw. bertanya: “Siapakah wanita itu?”
Nafisah menjawab: “Dia adalah Sayyidah Khadijah Ra.”
Beliau Saw. lalu berkata: “Bagaiamana caranya saya bisa menikah dengannya?”
Waktu itu juga Nafisah segera pergi dan menghadap Sayyidah Khodijah Ra. dengan membawa kabar gembira yang sangat diharapkannya dan menceritakan pembicaraannya dengan beliau Saw. Kemudian Sayyidah Khadijah Ra. mengutusnya lagi agar memberitahu kepada beliau Saw. bahwa dirinya akan datang melamar.
Sayyidah Khadijah Ra. juga mengutus Nafsiah untuk memanggil pamannya yang bernama Amar bin Asad untuk menjadi walinya. Pada saat itu pula beliau Saw. memberitahukan paman-pamannya akan hal tersebut. Dan merekapun menyambut berita tersebut dengan penuh kegembiraan.
Tak lama kemudian beliau Saw. pergi ke rumah Sayyidah Khadijah Ra. dengan didampingi kedua pamannya, Sayyid Abu Thalib dan Sayyidina Hamzah, untuk melamarnya. Dan juga hadir dalam acara tersebut para bangsawan Quraisy, diantaranya Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq Ra.
Kemudian Sayyid Abu Thalib melamar Sayyidah Khodijah Ra. kepada pamannya yang bernama Amar bin Asad untuk beliau Saw. Akhirnya Amar bin Asad pun menikahkan Sayyidah Khodijah Ra. dengan beliau Saw. dengan mahar 400 dirham yang dibayarkan tunai oleh Sayyid Abu Thalib. Pada saat itu usia beliau Saw. adalah 25 tahun dan Sayyidah Khadijah berusia 40 tahun.
Selesainya pernikahan tersebut, beliau Saw. mengadakan Walimatul ‘Arus dengan memotong onta. Begitupula Sayyidah Khadijah Ra., ia merayakan pernikahannya bersama wanita-wanita Quraisy untuk mengungkapkan rasa kebahagiaan dan keberuntungan atas tercapainya harapan menjadi istri beliau Saw.
Disebutkan dalam kitab Nuzhat al-Majalis juz 2 halaman 130: “Setelah usainya pernikahan tersebut, Sayyidah Khadijah Ra. mendengar dari orang-orang yang iri dengki mengatakan: “Bagaimana Khadijah mau menikah dengan orang yang faqir?”
Sayyidah Khadijah Ra. pun marah atas perkataan tersebut yang ia anggap telah melecehkan dan menghina beliau Saw. Kemudian Sayyidah Khadijah memanggil para bangsawan Quraisy itu dan berkata: “Wahai bangsawan-bangsawan Quraisy, saksikanlah sesungguhnya aku telah memberikan semua yang aku miliki kepada Muhammad. Jika ia masih mau denganku, maka itu adalah kebijakan pribadinya yang luhur.”
Para bangsawan Quraisy yang hadir pun menjadi takjub dan kagum atas prilaku Khadijah Ra. yang sangat mulia. Begitupula beliau Saw. bangga atas prilaku Khadijah Ra. dengan berkata:
بما أكافئ خديجة
“Bagaimanakah aku bisa membalas atas kebijakannya?”
Cinta Sayyidah Khadijah Ra. begitu memuncak kepada beliau Saw. Ia rela mengorbankan jiwa dan raganya demi untuk mengabdi kepada beliau Saw. Sehingga tahun demi tahun kehidupan beliau Saw. bersama Sayyidah Khadijah Ra. penuh dengan ketenangan, kecintaan dan kasih sayang.
Disebutkan dalam kitab as-Sirah an-Nabawiyyah juz 1 halaman 163: “Sesungguhnya beliau Saw. dengan belas kasih sayangnya senantiasa memberi makan kepada orang yang tidak mampu (miskin). Begitu juga beliau Saw. seringkali melakukan thawaf (mengelilingi Ka’bah 7 kali). Dan saat itu Ka’bah masih dipenuhi dengan berhala-berhala. Dan tidaklah ada sesuatu yang paling dibenci oleh beliau Saw. melebihi berhala. Setiap bulan Ramadhan, beliau Saw. selalu berkhalwat di gua Hira’. Sedangkan sang istri, Sayyidah Khadijah Ra., selalu mendatangi beliau Saw. dengan membawakan makanan dan minuman.”
USIA 20 TAHUN RASULULLAH SAW. BERDAGANG
Pada saat usia 20 tahun, beliau Saw. berdagang ke Syam bersama dengan sahabat setianya, Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. amat kagum dengan kepribadian beliau Saw. Dan dia sangat bangga sekali menjadi teman setianya. Dia selalu melihat kepribadian beliau Saw. yang begitu indah. Dari segi ketampanannya yang luar biasa, bercahaya tubuhnya dan bau harum semerbak yang luar biasa keluar dari diri beliau Saw.
Begitupula ia sangat kagum atas akhlak beliau Saw. yang sangat mulia. Sungguh beliau Saw. sangat tawadhu’, sabar, murah senyum, selalu bersilaturrahim, jujur dan sangat menjaga amanah, sehingga penduduk Makkah menjulukinya al-Amin.
Sayyidina Abu Bakar Ra. adalah orang yang tidak pernah menyembah berhala, selalu mengEsakan Allah Swt. dan tidak pernah memohon kecuali kepadaNya. Sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh as-Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan al-Hasani dalam kitabnya as-Sirah an-Nabawiyyah juz 1 halaman 179: “Dengan cinta dan kesetiaannya kepada beliau Saw., Sayyidina Abu Bakar Ra. sangat suka berteman dengannya. Sehingga akhlaknya pun menjadi luhur, sebagaimana pepatah arab mengatakan:
من جالس جانس
“Seseorang akan cenderung meniru prilaku/kepribadian teman pergaulannya.”
Dan dalam kepergian tersebut, Abu Bakar Ra. telah menemukan tanda-tanda kenabian dalam pribadi beliau Saw. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas Ra. dalam kitab as-Sirah an-Nabawiyyah juz 1 halaman 180: “Pada saat Abu Bakar Ra. berusia 18 tahun, ia menemani beliau Saw. bepergian bersama rombongan pedagang Quraisy ke Syam. Dan di dalam perjalanannya mereka singgah di suatu tempat, dan di situ ada seorang rahib yang dijuluki Bukhaira.
Pada saat beliau Saw. sedang beristirahat di bawah pohon, rahib tersebut memperhatikan beliau Saw. dengan penuh takjub, karena dia telah mengetahui tanda-tanda kenabian akhir zaman dari kitab Injil ada dalam kepribadian beliau Saw. Kemudian rahib tersebut bertanya kepada Abu Bakar Ra.: “Siapakah dia?”
Sayyidina Abu Bakar Ra. menjawab: “Beliau adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthallib.”
Langsung saja rahib tersebut bersumpah seraya berkata: “Demi Allah, dialah yang akan menjadi Nabi Akhir Zaman.”
Maka keimanan dan keyakinan Sayyidina Abu Bakar Ra. tentang kenabian beliau Saw. masuk dalam lubuk hatinya. Demikianlah cinta dan kekagumannya pada beliau Saw. semakin mendalam.
Sepulangnya mereka ke Makkah, maka perhatian Abu Bakar Ra. kepada beliau Saw. semakin tinggi. Dengan menunggu-nunggu pada saatnya nanti beliau Saw. diutus (menjadi rasul), maka langsung akan ia ikuti dan membelanya. Begitu juga keutamaan-keutamaan beliau Saw. semakin menyebar kepada penduduk Makkah.
Beliau Saw. juga pernah pergi bersama rombongan pedagang Quraisy dengan membawa dagangan Sayyidah Khadijah Ra. ke Yaman dan Syam. Para pedagang Quraisy seringkali menyaksikan peristiwa-peristiwa yang sangat menakjubkan dari diri beliau Saw. Kepribadian beliau Saw. yang luhur serta senantiasa bertawakkal, sehingga setiap mendapati imbalan dagang seketika juga beliau infaqkan kepada faqir miskin dan yang membutuhkanya dengan mengutamakan para kerabatnya.
Sayyidah Khadijah Ra. adalah seorang janda yang sangat suci kepribadiannya, sangat cantik dan anggun berwibawa serta kaya raya. Ia seringkali mendapatkan kabar keutamaan-keutamaan beliau Saw. Karena itulah Sayyidah Khadijah Ra. menawarkan kembali kepada beliau Saw. untuk membawa dagangannya ke Syam bersama para pedagang Quraisy lainnya dengan mengutus Maisarah pembantu laki-lakinya, untuk menyertai beliau Saw. Hal ini juga bertujuan agar Maisarah menyaksikan dan membuktikan langsung keutamaan pribadi beliau Saw dan memberitahukan kepadanya.
Disebutkan dalam kitab as-Sirah an-Nabawiyyah juz 1 halaman 110: “Saat usia beliau Saw. 25 tahun, Sayyidah Khadijah Ra. mengutus pembantunya yang bernama Maisarah kepada beliau Saw. untuk membawa dagangannya ke Syam. Kemudian beliau Saw. menerimanya dengan senang hati dan memberitahukan kepada paman-pamannya atas tawaran tersebut. Lalu Sayyid Abu Thalib berkata: “Sungguh ini adalah rizki yang dianugerahkan Allah Swt. kepadamu.”
Dengan belas kasih sayang dan perhatiannya kepada beliau Saw., maka sebelum berangkat Sayyid Abu Thalib berpesan kepada rombongan agar selalu memperhatikan beliau Saw. Begitupula Sayyidah Khadijah Ra. berpesan kepada Maisarah agar selalu mentaati segala perintahnya dan jangan sekali-kali membantahnya.
Selama dalam perjalanan, Maisarah pun menyaksikan keutamaan-keutamaan beliau Saw. Diantaranya yang ia saksikan langsung adalah mega-mega yang selalu menaungi beliau Saw. dan banyak para rahib yang mengakui bahwa beliau Saw. akan menjadi Nabi Akhir Zaman.
Begitupula Maisarah telah menyaksikan sendiri pada saat rombongan telah mendekati tujuan, dua dari onta-onta Sayyidah Khadijah Ra. tak mampu meneruskan perjalanan karena sakit sehingga tertinggal dari rombongannya. Kemudian Maisarah menyusul beliau Saw. dan memberitahu keadaan dua onta tersebut. Lalu beliau Saw. mendatanginya dan memegang kaki kedua onta tersebut sambil berdoa kepada Allah Swt. Seketika itu juga kedua onta tersebut sembuh dan bangkit sehingga bisa meneruskan perjalanannya dengan lancar bahkan mampu mendahului yang lainnya.
Dengan semua kejadian itulah tumbuh dalam hati Maisarah rasa cinta dan kekagumannya kepada beliau Saw. dengan sangat memuncak. Sepulangnya rombongan tersebut dari Syam, Maisarah berkata: “Wahai Tuan Muhammad, sungguh sudah berkali-kali saya diutus Sayyidh Khadijah Ra. berdagang ke Syam. Namun tidak pernah mendapatkan keuntungan sebesar ini.”
Sesampainya rombongan tersebut mendekati kota Makkah, beliau Saw. menyuruh Maisarah untuk mendahuluinya agar memberi kabar gembira kepada Sayyidah Khadijah Ra. atas kembalinya rombongan dengan selamat dan membawa keberuntungan yang banyak.
Sesampainya Maisarah di hadapan Sayyidah Khadijah Ra., ia memberitahukan keuntungan yang didapatinya. Begitu juga ia menceritakan keajaiban-keajaiban yang dialaminya bersama beliau Saw. Diantaranya adalah mega-mega yang selalu menaungi beliau Saw., kejadian kedua onta Khadijah Ra. dan banyaknya para rahib yang mengatakan bahwa beliau Saw. akan menjadi Nabi Akhir Zaman.
Sayyidah Khadijah Ra. menjadi sangat terkejut atas berita tentang tanda-tanda kenabian beliau Saw. Karena sebelumnya ia pernah mendengar seorang pendeta Yahudi berkata pada saat ia duduk dengan teman-teman wanitanya: “Wahai para perempuan Quraisy, sesungguhnya sudah dekat datangnya Nabi Akhir Zaman. Jika kalian menemuinya, berlomba-lombalah untuk menjadi istrinya.”
Namun mereka (para wanita Quraisy) mengejek dan menertawakan pendeta Yahudi tersebut. Akan tetapi Sayyidah Khadijah Ra. mempercayainya dan tumbuh dalam hatinya harapan yang sangat kuat untuk menjadi istrinya.
Begitupula ia sangat kagum atas akhlak beliau Saw. yang sangat mulia. Sungguh beliau Saw. sangat tawadhu’, sabar, murah senyum, selalu bersilaturrahim, jujur dan sangat menjaga amanah, sehingga penduduk Makkah menjulukinya al-Amin.
Sayyidina Abu Bakar Ra. adalah orang yang tidak pernah menyembah berhala, selalu mengEsakan Allah Swt. dan tidak pernah memohon kecuali kepadaNya. Sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh as-Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan al-Hasani dalam kitabnya as-Sirah an-Nabawiyyah juz 1 halaman 179: “Dengan cinta dan kesetiaannya kepada beliau Saw., Sayyidina Abu Bakar Ra. sangat suka berteman dengannya. Sehingga akhlaknya pun menjadi luhur, sebagaimana pepatah arab mengatakan:
من جالس جانس
“Seseorang akan cenderung meniru prilaku/kepribadian teman pergaulannya.”
Dan dalam kepergian tersebut, Abu Bakar Ra. telah menemukan tanda-tanda kenabian dalam pribadi beliau Saw. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas Ra. dalam kitab as-Sirah an-Nabawiyyah juz 1 halaman 180: “Pada saat Abu Bakar Ra. berusia 18 tahun, ia menemani beliau Saw. bepergian bersama rombongan pedagang Quraisy ke Syam. Dan di dalam perjalanannya mereka singgah di suatu tempat, dan di situ ada seorang rahib yang dijuluki Bukhaira.
Pada saat beliau Saw. sedang beristirahat di bawah pohon, rahib tersebut memperhatikan beliau Saw. dengan penuh takjub, karena dia telah mengetahui tanda-tanda kenabian akhir zaman dari kitab Injil ada dalam kepribadian beliau Saw. Kemudian rahib tersebut bertanya kepada Abu Bakar Ra.: “Siapakah dia?”
Sayyidina Abu Bakar Ra. menjawab: “Beliau adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthallib.”
Langsung saja rahib tersebut bersumpah seraya berkata: “Demi Allah, dialah yang akan menjadi Nabi Akhir Zaman.”
Maka keimanan dan keyakinan Sayyidina Abu Bakar Ra. tentang kenabian beliau Saw. masuk dalam lubuk hatinya. Demikianlah cinta dan kekagumannya pada beliau Saw. semakin mendalam.
Sepulangnya mereka ke Makkah, maka perhatian Abu Bakar Ra. kepada beliau Saw. semakin tinggi. Dengan menunggu-nunggu pada saatnya nanti beliau Saw. diutus (menjadi rasul), maka langsung akan ia ikuti dan membelanya. Begitu juga keutamaan-keutamaan beliau Saw. semakin menyebar kepada penduduk Makkah.
Beliau Saw. juga pernah pergi bersama rombongan pedagang Quraisy dengan membawa dagangan Sayyidah Khadijah Ra. ke Yaman dan Syam. Para pedagang Quraisy seringkali menyaksikan peristiwa-peristiwa yang sangat menakjubkan dari diri beliau Saw. Kepribadian beliau Saw. yang luhur serta senantiasa bertawakkal, sehingga setiap mendapati imbalan dagang seketika juga beliau infaqkan kepada faqir miskin dan yang membutuhkanya dengan mengutamakan para kerabatnya.
Sayyidah Khadijah Ra. adalah seorang janda yang sangat suci kepribadiannya, sangat cantik dan anggun berwibawa serta kaya raya. Ia seringkali mendapatkan kabar keutamaan-keutamaan beliau Saw. Karena itulah Sayyidah Khadijah Ra. menawarkan kembali kepada beliau Saw. untuk membawa dagangannya ke Syam bersama para pedagang Quraisy lainnya dengan mengutus Maisarah pembantu laki-lakinya, untuk menyertai beliau Saw. Hal ini juga bertujuan agar Maisarah menyaksikan dan membuktikan langsung keutamaan pribadi beliau Saw dan memberitahukan kepadanya.
Disebutkan dalam kitab as-Sirah an-Nabawiyyah juz 1 halaman 110: “Saat usia beliau Saw. 25 tahun, Sayyidah Khadijah Ra. mengutus pembantunya yang bernama Maisarah kepada beliau Saw. untuk membawa dagangannya ke Syam. Kemudian beliau Saw. menerimanya dengan senang hati dan memberitahukan kepada paman-pamannya atas tawaran tersebut. Lalu Sayyid Abu Thalib berkata: “Sungguh ini adalah rizki yang dianugerahkan Allah Swt. kepadamu.”
Dengan belas kasih sayang dan perhatiannya kepada beliau Saw., maka sebelum berangkat Sayyid Abu Thalib berpesan kepada rombongan agar selalu memperhatikan beliau Saw. Begitupula Sayyidah Khadijah Ra. berpesan kepada Maisarah agar selalu mentaati segala perintahnya dan jangan sekali-kali membantahnya.
Selama dalam perjalanan, Maisarah pun menyaksikan keutamaan-keutamaan beliau Saw. Diantaranya yang ia saksikan langsung adalah mega-mega yang selalu menaungi beliau Saw. dan banyak para rahib yang mengakui bahwa beliau Saw. akan menjadi Nabi Akhir Zaman.
Begitupula Maisarah telah menyaksikan sendiri pada saat rombongan telah mendekati tujuan, dua dari onta-onta Sayyidah Khadijah Ra. tak mampu meneruskan perjalanan karena sakit sehingga tertinggal dari rombongannya. Kemudian Maisarah menyusul beliau Saw. dan memberitahu keadaan dua onta tersebut. Lalu beliau Saw. mendatanginya dan memegang kaki kedua onta tersebut sambil berdoa kepada Allah Swt. Seketika itu juga kedua onta tersebut sembuh dan bangkit sehingga bisa meneruskan perjalanannya dengan lancar bahkan mampu mendahului yang lainnya.
Dengan semua kejadian itulah tumbuh dalam hati Maisarah rasa cinta dan kekagumannya kepada beliau Saw. dengan sangat memuncak. Sepulangnya rombongan tersebut dari Syam, Maisarah berkata: “Wahai Tuan Muhammad, sungguh sudah berkali-kali saya diutus Sayyidh Khadijah Ra. berdagang ke Syam. Namun tidak pernah mendapatkan keuntungan sebesar ini.”
Sesampainya rombongan tersebut mendekati kota Makkah, beliau Saw. menyuruh Maisarah untuk mendahuluinya agar memberi kabar gembira kepada Sayyidah Khadijah Ra. atas kembalinya rombongan dengan selamat dan membawa keberuntungan yang banyak.
Sesampainya Maisarah di hadapan Sayyidah Khadijah Ra., ia memberitahukan keuntungan yang didapatinya. Begitu juga ia menceritakan keajaiban-keajaiban yang dialaminya bersama beliau Saw. Diantaranya adalah mega-mega yang selalu menaungi beliau Saw., kejadian kedua onta Khadijah Ra. dan banyaknya para rahib yang mengatakan bahwa beliau Saw. akan menjadi Nabi Akhir Zaman.
Sayyidah Khadijah Ra. menjadi sangat terkejut atas berita tentang tanda-tanda kenabian beliau Saw. Karena sebelumnya ia pernah mendengar seorang pendeta Yahudi berkata pada saat ia duduk dengan teman-teman wanitanya: “Wahai para perempuan Quraisy, sesungguhnya sudah dekat datangnya Nabi Akhir Zaman. Jika kalian menemuinya, berlomba-lombalah untuk menjadi istrinya.”
Namun mereka (para wanita Quraisy) mengejek dan menertawakan pendeta Yahudi tersebut. Akan tetapi Sayyidah Khadijah Ra. mempercayainya dan tumbuh dalam hatinya harapan yang sangat kuat untuk menjadi istrinya.
Rabu, 15 Januari 2014
PEMBELAHAN DADA RASULULLAH SAW. SEWAKTU KECIL
Disebutkan dalam kitab Madarij ash-Shu’ud halaman 24: “Sesungguhnya terjadinya peristiwa Syaqq ash-Shadri (dibelahnya dada Rasulullah Saw. oleh para malaikat) adalah pada saat usia beliau Saw. 4 tahun.
Dalam kitab as-Sirah an-Nabawiyyah juz 1 halaman 58: “Sayyidah Halimah Ra. berkata: “Pada saat beliau Saw. bersama dengan saudaranya, Abdullah, menggembala kambing di sekitar rumahku, tiba-tiba Abdullah lari dengan sangat kencang mendatangiku dengan muka yang sangat pucat dan keringat dingin bercucuran menunjukkan kecemasan dan ketakutan, sambil menangis dia berteriak-teriak: “Wahai Ibuku, wahai Bapakku, cepat tolonglah saudaraku, jangan sampai terlambat. Aku tak ingin beliau Saw. celaka.”
Kemudian aku (Halimah Ra.) berkata: “Apa yang terjadi wahai anakku?”
Abdullah menjawab: “Saat kami menggembala kambing, tiba-tiba datang dua orang yang berpakaian putih-putih, kemudian membawa beliau Saw. ke atas bukit.”
Dengan spontan Sayyidah Halimah Ra. dan suaminya bangkit lari mengejar keberadaan beliau Saw. sambil berteriak-teriak meminta bantuan orang-orang di kampungnya. Peristiwa tersebut juga pernah diriwayatkan sendiri oleh beliau Saw., sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab tersebut halaman 61, bahwa beliau Saw. bersabda: “Sesungguhnya pada saat terjadinya peristiwa tersebut, ibuku (Sayyidah Halimah Ra.) dan suaminya bersama para rombongan berlari menuju arah keberadaanku di atas bukit yang mana pada saat itu Malaikat Jibril As. dan Malaikat Mikail As. sedang membelah dadaku yang tanpa aku merasakan cemas ataupun sakit, dengan tujuan untuk mengisi ke dalam jiwaku berbagai macam anugerah yang sangat agung.”
Peristiwa itu disebutkan juga dalam kitab Maulid Simthu ad-Durar karya al-Habib Ali al-Habsyi:
وما أخرج الأملاك من قلبه أذى ولكنهم زادوه طهرا على طهر
“Sesungguhnya para malaikat tersebut tidaklah mengeluarkan sesuatu dari diri beliau Saw. Akan tetapi sesungguhnya mereka telah menambah kesucian di atas kesucian pribadi beliau Saw.”
“Setelah peristiwa tersebut selesai, aku (Nabi Saw.) dan para malaikat dari kejauhan mendengar teriakan ibuku (Sayyidah Halimah Ra.) yang sedang berlari menuju ke arahku dengan berkata:
وا ضعيفاه
“Sesungguhnya anakku masih kecil dan lemah, maka janganlah diganggu.”
Dengan seketika para malaikat tersebut memelukku dengan penuh belas kasih sayang dan mencium kepalaku dan juga keningku sambil berkata:
حبذا أنت من ضعيف
“Engkau bukanlah anak yang lemah, karena engkau adalah kekasih Allah Swt.”
Tak lama kemudian terdengar ibuku berteriak lagi:
وا وحيداه
“Sesungguhnya anakku sendirian tidak ada yang melindunginya, tolong janganlah diganggu.”
Dengan seketika pula para malaikat tersebut memelukku dengan penuh kasih sayang dan mencium kepalaku dan juga keningku sambil berkata:
حبذا أنت من وحيد وما أنت بوحيد إن الله معك وملائكته والمؤمنين من أهل الأرض
“Sesungguhnya engkau wahai kekasih Allah Swt., tidaklah sendirian. Bahkan Allah Swt. bersama para malaikatNya dan semua orang yang beriman selalu bersamamu.”
Dan tidak lama kemudian, terdengar lagi ibuku berteriak:
وا يتيماه استضعفت من بين أصحابك فقتلت لضعفك
“Tolong janganlah diganggu, sesungguhnya dia adalah anak yatim yang paling lemah diantara kita. Sungguh sangatlah mudah terbunuh dikarenakan kelemahannya.”
Dan seketika pula para malaikat tersebut memelukku dengan penuh kasih sayang dan mencium kepalaku dan juga keningku sambil berkata:
حبذا أنت من يتيم ما أكرمك على الله لو تعلم ما أريد بك من الخير أقرت عينك
“Alangkah mulianya engkau sebagai anak yatim, sungguh engkau sangat mulia di sisi Allah Swt. Sesunggughnya jika engkau tahu kebajikan apa yang Allah Swt. kehendaki kepadamu sungguh engkau akan merasa sangat senang dan bahagia.”
Kemudian setelah mereka sampai di kaki bukit, ibuku (Sayyidah Halimah Ra.) melihatku dan dengan mendaki bukit tersebut beliau berkata:
لا أراك إلا حيا بعد
“Sungguh saya kira engkau telah meninggal dan aku tidak bisa melihatmu lagi.”
Kemudian ibuku mendatangiku dan memelukku dengan penuh kegembiraan atas keselamatanku. Kemudian beliau Saw. bersumpah:
فو الذي نفسي بيده إني لفي حجرها قد ضمتني إليها ويدي في أيديهم ( يعني الملائكة ) والقوم لا يبصرونهم
“Demi Dzat Yang Menguasai diriku, sesungguhnya pada saat aku dalam pelukan ibuku, para malaikat masih memegang tanganku, namun mereka (ibuku dan rombongannya) tidak melihatnya.”
Dengan peristiwa yang sangat aneh tersebut, sebagian dari kaum Bani Sa’ad menyarankan kepada Sayyidah Halimah Ra. dan suaminya untuk membawa beliau Saw. ke dukun. Karena mereka menganggap apa yang terjadi pada beliau Saw. adalah akibat dari gangguan jin. Seketika itu beliau Saw. berkata:
يا هؤلاء مابي مما تذكرون شيء إن آرابي (أي أعضائي) سليمة وفؤادي صحيح وليس بي قلبة أي علة
“Wahai kalian semua, sesungguhnya aku tidak terkena seperti apa yang kalian duga. Bukankah kalian telah melihat sendiri bahwa anggota tubuhku dan akalku dalam keadaan sehat? Sungguh tak ada sedikitpun sesuatu yang aku derita.”
Kemudian bapakku (suami Sayyidah Halimah Ra.) berkata: “Wahai kaumku, apakah kalian tidak mendengar apa yang telah dikatakan oleh anakku ini? Sungguh semua perkataannya sangat normal dan saya berharap semoga saja anakku ini tidak terkena apa-apa.”
Namun penduduk tersebut tetap sepakat membawaku ke dukun untuk diperiksa. Begitu sampai di tempat dukun, mereka menceritakan keadaanku pada dukun tersebut. Tetapi dukun tersebut menyuruh mereka diam dan memintaku untuk menceritakan sendiri peristiwa yang baru saja aku alami. Dan begitu aku selesai menceritakan semua peristiwa yang baru saja aku alami, tiba-tiba dukun tersebut menyekapku dan berteriak dengan keras: “Wahai penduduk Arab semua, sungguh malapetaka sebentar lagi akan datang. Bunuhlah segera anak ini dan bunuh pula aku bersamanya. Demi Tuhan Lata dan Uzza, apabila anak ini kalian biarkan menjadi besar, niscaya akan membawa agama baru yang mengganti agama kalian semua. Dia akan menganggap kita dan nenek moyang kita adalah orang-orang yang bodoh tak berakal. Dia akan bertentangan dengan seluruh urusan kalian. Sungguh dia akan membawa agama baru yang belum pernah kalian dengar sebelumnya.”
Seketika itu juga dengan secepatnya ibuku (Sayyidah Halimah Ra.) merebut aku dari dekapan dukun tersebut, dan sambil berkata dengan lantang kepadanya: “Sesungguhnya yang terkena gangguan adalah kamu. Dan perkataan kamu adalah perkataan orang yang tidak waras. Jika aku tahu kamu akan berkata begini, maka kami tidak akan mendatangimu. Jika kamu ingin mati, carilah sendiri orang yang membunuhmu. Kami tidak mungkin untuk mencelakai anak yang kami cintai ini.”
Dengan seketika pula, ibuku dan rombongannya membawaku pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, aku merenung dengan penuh takjub atas segala peristiwa yang terjadi antara aku dengan para malaikat. Dan bekas belahan malaikat tersebut masih terlihat membekas di antara dada dan pusarku.”
Dan disebutkan dalam kitab as-Sirah an-Nabawiyyah juz 1 halaman 58, Sayyidah Halimah Ra. berkata: “Sesampainya kami di rumah, setelah terjadinya peristiwa tersebut, suamiku berkata: “Wahai istriku Halimah, lebih baik anak ini kita pulangkan saja ke ibundanya sebelum terjadi sesuatu kepadanya, dan kita akan selamat dari pertanggunganjawaban.”
Dengan segera kami pun membawa beliau Saw. ke Makkah untuk dikembalikan kepada ibunda beliau Saw., walaupun sesampainya di sana sudah malam.”
Pada saat Sayyidah Halimah Ra. dan suaminya bersama beliau Saw. sudah mendekati kota Makkah, tiba-tiba beliau Saw. menghilang dari pandangan mereka. Dengan perasaan khawatir dan cemas diapun bersama suaminya mencari beliau Saw. Setiap tempat dan penjuru di antara gunung-gunung dan perbukitan yang ada di sekitarnya mereka datangi untuk mencari beliau Saw. Namun mereka tidak berhasil menemukannya.
Kemudian mereka pun secepatnya menuju kota Makkah meminta pertolongan untuk mencari beliau Saw. Sesampainya di kota Makkah, mereka menemui Sayyid Abdul Muthallib dan berkata: “Wahai Tuan Abdul Muthallib, sesungguhnya di malam ini aku datang bersama dengan cucumu Muhammad untuk kami kembalikan kepada ibundanya. Akan tetapi sesampainya kami di dekat kota Makkah, beliau Saw. menghilang dari pandangan mata kami. Demi Allah kami tidak tahu di mana sekarang ia berada.”
Dengan seketika Sayyid Abdul Muthallib berdoa dengan suara yang keras:
يارب رد ولدي محمد أردده ربي وأصطنع عندي يدا
“Ya Allah ya Rabb, tolong kembalikanlah anakku Muhammad. Jika Engkau mengembalikannya, sungguh aku akan berbuat kebajikan (nadzar bersedekah).”
Seketika itu terdengarlah seruan dari langit:
أيها الناس لا تضجوا إن لمحمد ربا لن يخذله ولا يضيعه
“Wahai penduduk Makkah, janganlah kalian panik. Sesungguhnya Muhammad mempunyai Tuhan yang tidak akan mengecewakannya dan tidak mungkin meninggalkannya.”
Kemudian Sayyid Abdul Muthallib berkata: “Di manakah kami bisa menemukannya?”
Lalu terdengar lagi seruan dari langit:
إنه بوادي تهامة عند الشجرة اليمنى
“Sesungguhnya ia berada di lembah Tihamah, di dekat pohon Yumna.”
Dengan seketika Sayyid Abdul Muthallib bersama Sayyid Waraqah bin Naufal memacu kudanya menuju tempat tersebut dan tak lama kemudian mereka menemukan beliau Saw. di bawah pohon Yumna. Lalu Sayyid Abdul Muthallib mendekati beliau Saw. dan berkata: “Wahai anak kecil, siapakah engkau?”
Beliau Saw. menjawab: “Aku adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthallib.”
Kemudian Sayyid Abdul Muthallib turun dari kudanya dan berkata: “Aku adalah kakekmu Abdul Muthallib.”
Kemudian Sayyid Abdul Muthallibb pun menggendong dan memeluknya sambil berkata: “Demi engkau wahai anakku, aku rela mengorbankan jiwa dan ragaku.”
Kemudian Sayyid Abdul Muthallib naik ke kudanya dengan memangku beliau Saw. dan membawanya pulang ke Makkah. Sesampainya di Makkah, Sayyidah Halimah Ra. menyambut dengan penuh kegembiraan atas keselamatan beliau Saw. Kemudian mereka membawa beliau Saw. kepada ibundanya, Sayyidah Aminah Ra.
Esok harinya, Sayyid Abdul Muthallib memotong kambing dan sapi serta memanggil penduduk Makkah untuk mensyukuri keselamatan beliau Saw. serta memenuhi janjinya.
Disebutkan dalam kitab Sirah Ibnu Hisyam halaman 39, Sayyidah Halimah Ra. berkata: “Sesampainya kami di hadapan ibunda beliau Saw., maka beliau pun menyambut kami dengan baik. Dan dengan penuh takjub beliau berkata: “Wahai Halimah, apakah gerangan yang membuatmu mengembalikan anakku ini kepadaku, padahal sebagaimana yang telah engkau ungkapkan bahwa engkau sangatlah mencintai dan menyayanginya dan tak mau rasanya untuk berpisah darinya?”
Aku pun menjawab: “Wahai ibunda Muhammad, sesungguhnya Allah telah melimpahkan anugerahNya kepada kami dengan berkat anakmu ini. Dan sesungguhnya akupun sangat mencintai dan memuliakannya. Dan telah kucurahkan dengan segenap kasih sayang dan cintaku di dalam mengasuhnya. Namun demi kebaikan dan keselamatannya, kukembalikan kepadamu. Karena aku tidak ingin dan tak tega apabila ada sedikitpun sesuatu yang bisa membahayakannya. sebagaimana engkaupun menginginkan kebaikan dan keselamatan baginya.”
Lalu Sayyidah Aminah Ra. berkata: “Wahai Halimah, apakah yang telah terjadi? Jujurlah dan katakan kepadaku dengan terus terang.”
Maka akupun menceritakan kejadian tersebut (ancaman dari orang-orang yang iri dengki kepadanya, khususnya dukun-dukun sesat, dan terutama kisah dibelahnya dada beliau Saw. oleh makhluk yang tidak dikenalnya). Kemudian ibunda Rasulullah Saw. berkata: “Apa yang engkau khawatirkan wahai Halimah. Apakah engkau kira bahwa anakku ini diganggu oleh setan?
كلا والله ما للشيطان عليه من سبيل وإن لإبني شأنا
“Tidak mungkin, demi Allah. Tidaklah ada jalan bagi setan untuk bisa mengganggu anakku ini. Karena beliau Saw. selalu dilindungi oleh Allah Swt. dan para malaikatNya. Dan sesungguhnya anakku ini mempunyai keistimewaan dan keajaiban yang luar biasa.”
Kemudian ibunda Rasulullah Saw. menceritakan kejadiannya saat melahirkan beliau Saw. yang penuh dengan kejadian-kejadian yang luar biasa yang dengannya tidak diragukan lagi bahwa beliau Saw. adalah manusia utama kekasih Allah Swt. Dan akupun (Sayyidah Halimah Ra.) mendengarkannya dengan penuh kekaguman yang sangat luar biasa, hingga menjadi legalah hatiku dan semakin memuncaklah rasa kagum dan cintaku kepadanya. Sehingga dengannya, kamipun bisa pulang dengan hati yang tenang dan tentram.”
Setelah Sayyidah Halimah Ra. kembali ke kampungnya, maka selama 2 tahun, beliau Saw. diasuh langsung oleh ibu kandungnya (Sayyidah Aminah Ra.), dan dibantu oleh pembantunya (Barkah Ummu Aiman al-Habasyah) di bawah pengawasan kakeknya, Sayyid Abdul Muthallib, dengan penuh cinta dan kasih sayang. Dan beliau Saw. tumbuh dan berkembang di bawah lindungan dan didikan Allah Swt. untuk mempersiapkannya menjadi manusia utama, utusan yang terpilih dan junjungan seluruh alam.
Dalam kitab as-Sirah an-Nabawiyyah juz 1 halaman 58: “Sayyidah Halimah Ra. berkata: “Pada saat beliau Saw. bersama dengan saudaranya, Abdullah, menggembala kambing di sekitar rumahku, tiba-tiba Abdullah lari dengan sangat kencang mendatangiku dengan muka yang sangat pucat dan keringat dingin bercucuran menunjukkan kecemasan dan ketakutan, sambil menangis dia berteriak-teriak: “Wahai Ibuku, wahai Bapakku, cepat tolonglah saudaraku, jangan sampai terlambat. Aku tak ingin beliau Saw. celaka.”
Kemudian aku (Halimah Ra.) berkata: “Apa yang terjadi wahai anakku?”
Abdullah menjawab: “Saat kami menggembala kambing, tiba-tiba datang dua orang yang berpakaian putih-putih, kemudian membawa beliau Saw. ke atas bukit.”
Dengan spontan Sayyidah Halimah Ra. dan suaminya bangkit lari mengejar keberadaan beliau Saw. sambil berteriak-teriak meminta bantuan orang-orang di kampungnya. Peristiwa tersebut juga pernah diriwayatkan sendiri oleh beliau Saw., sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab tersebut halaman 61, bahwa beliau Saw. bersabda: “Sesungguhnya pada saat terjadinya peristiwa tersebut, ibuku (Sayyidah Halimah Ra.) dan suaminya bersama para rombongan berlari menuju arah keberadaanku di atas bukit yang mana pada saat itu Malaikat Jibril As. dan Malaikat Mikail As. sedang membelah dadaku yang tanpa aku merasakan cemas ataupun sakit, dengan tujuan untuk mengisi ke dalam jiwaku berbagai macam anugerah yang sangat agung.”
Peristiwa itu disebutkan juga dalam kitab Maulid Simthu ad-Durar karya al-Habib Ali al-Habsyi:
وما أخرج الأملاك من قلبه أذى ولكنهم زادوه طهرا على طهر
“Sesungguhnya para malaikat tersebut tidaklah mengeluarkan sesuatu dari diri beliau Saw. Akan tetapi sesungguhnya mereka telah menambah kesucian di atas kesucian pribadi beliau Saw.”
“Setelah peristiwa tersebut selesai, aku (Nabi Saw.) dan para malaikat dari kejauhan mendengar teriakan ibuku (Sayyidah Halimah Ra.) yang sedang berlari menuju ke arahku dengan berkata:
وا ضعيفاه
“Sesungguhnya anakku masih kecil dan lemah, maka janganlah diganggu.”
Dengan seketika para malaikat tersebut memelukku dengan penuh belas kasih sayang dan mencium kepalaku dan juga keningku sambil berkata:
حبذا أنت من ضعيف
“Engkau bukanlah anak yang lemah, karena engkau adalah kekasih Allah Swt.”
Tak lama kemudian terdengar ibuku berteriak lagi:
وا وحيداه
“Sesungguhnya anakku sendirian tidak ada yang melindunginya, tolong janganlah diganggu.”
Dengan seketika pula para malaikat tersebut memelukku dengan penuh kasih sayang dan mencium kepalaku dan juga keningku sambil berkata:
حبذا أنت من وحيد وما أنت بوحيد إن الله معك وملائكته والمؤمنين من أهل الأرض
“Sesungguhnya engkau wahai kekasih Allah Swt., tidaklah sendirian. Bahkan Allah Swt. bersama para malaikatNya dan semua orang yang beriman selalu bersamamu.”
Dan tidak lama kemudian, terdengar lagi ibuku berteriak:
وا يتيماه استضعفت من بين أصحابك فقتلت لضعفك
“Tolong janganlah diganggu, sesungguhnya dia adalah anak yatim yang paling lemah diantara kita. Sungguh sangatlah mudah terbunuh dikarenakan kelemahannya.”
Dan seketika pula para malaikat tersebut memelukku dengan penuh kasih sayang dan mencium kepalaku dan juga keningku sambil berkata:
حبذا أنت من يتيم ما أكرمك على الله لو تعلم ما أريد بك من الخير أقرت عينك
“Alangkah mulianya engkau sebagai anak yatim, sungguh engkau sangat mulia di sisi Allah Swt. Sesunggughnya jika engkau tahu kebajikan apa yang Allah Swt. kehendaki kepadamu sungguh engkau akan merasa sangat senang dan bahagia.”
Kemudian setelah mereka sampai di kaki bukit, ibuku (Sayyidah Halimah Ra.) melihatku dan dengan mendaki bukit tersebut beliau berkata:
لا أراك إلا حيا بعد
“Sungguh saya kira engkau telah meninggal dan aku tidak bisa melihatmu lagi.”
Kemudian ibuku mendatangiku dan memelukku dengan penuh kegembiraan atas keselamatanku. Kemudian beliau Saw. bersumpah:
فو الذي نفسي بيده إني لفي حجرها قد ضمتني إليها ويدي في أيديهم ( يعني الملائكة ) والقوم لا يبصرونهم
“Demi Dzat Yang Menguasai diriku, sesungguhnya pada saat aku dalam pelukan ibuku, para malaikat masih memegang tanganku, namun mereka (ibuku dan rombongannya) tidak melihatnya.”
Dengan peristiwa yang sangat aneh tersebut, sebagian dari kaum Bani Sa’ad menyarankan kepada Sayyidah Halimah Ra. dan suaminya untuk membawa beliau Saw. ke dukun. Karena mereka menganggap apa yang terjadi pada beliau Saw. adalah akibat dari gangguan jin. Seketika itu beliau Saw. berkata:
يا هؤلاء مابي مما تذكرون شيء إن آرابي (أي أعضائي) سليمة وفؤادي صحيح وليس بي قلبة أي علة
“Wahai kalian semua, sesungguhnya aku tidak terkena seperti apa yang kalian duga. Bukankah kalian telah melihat sendiri bahwa anggota tubuhku dan akalku dalam keadaan sehat? Sungguh tak ada sedikitpun sesuatu yang aku derita.”
Kemudian bapakku (suami Sayyidah Halimah Ra.) berkata: “Wahai kaumku, apakah kalian tidak mendengar apa yang telah dikatakan oleh anakku ini? Sungguh semua perkataannya sangat normal dan saya berharap semoga saja anakku ini tidak terkena apa-apa.”
Namun penduduk tersebut tetap sepakat membawaku ke dukun untuk diperiksa. Begitu sampai di tempat dukun, mereka menceritakan keadaanku pada dukun tersebut. Tetapi dukun tersebut menyuruh mereka diam dan memintaku untuk menceritakan sendiri peristiwa yang baru saja aku alami. Dan begitu aku selesai menceritakan semua peristiwa yang baru saja aku alami, tiba-tiba dukun tersebut menyekapku dan berteriak dengan keras: “Wahai penduduk Arab semua, sungguh malapetaka sebentar lagi akan datang. Bunuhlah segera anak ini dan bunuh pula aku bersamanya. Demi Tuhan Lata dan Uzza, apabila anak ini kalian biarkan menjadi besar, niscaya akan membawa agama baru yang mengganti agama kalian semua. Dia akan menganggap kita dan nenek moyang kita adalah orang-orang yang bodoh tak berakal. Dia akan bertentangan dengan seluruh urusan kalian. Sungguh dia akan membawa agama baru yang belum pernah kalian dengar sebelumnya.”
Seketika itu juga dengan secepatnya ibuku (Sayyidah Halimah Ra.) merebut aku dari dekapan dukun tersebut, dan sambil berkata dengan lantang kepadanya: “Sesungguhnya yang terkena gangguan adalah kamu. Dan perkataan kamu adalah perkataan orang yang tidak waras. Jika aku tahu kamu akan berkata begini, maka kami tidak akan mendatangimu. Jika kamu ingin mati, carilah sendiri orang yang membunuhmu. Kami tidak mungkin untuk mencelakai anak yang kami cintai ini.”
Dengan seketika pula, ibuku dan rombongannya membawaku pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, aku merenung dengan penuh takjub atas segala peristiwa yang terjadi antara aku dengan para malaikat. Dan bekas belahan malaikat tersebut masih terlihat membekas di antara dada dan pusarku.”
Dan disebutkan dalam kitab as-Sirah an-Nabawiyyah juz 1 halaman 58, Sayyidah Halimah Ra. berkata: “Sesampainya kami di rumah, setelah terjadinya peristiwa tersebut, suamiku berkata: “Wahai istriku Halimah, lebih baik anak ini kita pulangkan saja ke ibundanya sebelum terjadi sesuatu kepadanya, dan kita akan selamat dari pertanggunganjawaban.”
Dengan segera kami pun membawa beliau Saw. ke Makkah untuk dikembalikan kepada ibunda beliau Saw., walaupun sesampainya di sana sudah malam.”
Pada saat Sayyidah Halimah Ra. dan suaminya bersama beliau Saw. sudah mendekati kota Makkah, tiba-tiba beliau Saw. menghilang dari pandangan mereka. Dengan perasaan khawatir dan cemas diapun bersama suaminya mencari beliau Saw. Setiap tempat dan penjuru di antara gunung-gunung dan perbukitan yang ada di sekitarnya mereka datangi untuk mencari beliau Saw. Namun mereka tidak berhasil menemukannya.
Kemudian mereka pun secepatnya menuju kota Makkah meminta pertolongan untuk mencari beliau Saw. Sesampainya di kota Makkah, mereka menemui Sayyid Abdul Muthallib dan berkata: “Wahai Tuan Abdul Muthallib, sesungguhnya di malam ini aku datang bersama dengan cucumu Muhammad untuk kami kembalikan kepada ibundanya. Akan tetapi sesampainya kami di dekat kota Makkah, beliau Saw. menghilang dari pandangan mata kami. Demi Allah kami tidak tahu di mana sekarang ia berada.”
Dengan seketika Sayyid Abdul Muthallib berdoa dengan suara yang keras:
يارب رد ولدي محمد أردده ربي وأصطنع عندي يدا
“Ya Allah ya Rabb, tolong kembalikanlah anakku Muhammad. Jika Engkau mengembalikannya, sungguh aku akan berbuat kebajikan (nadzar bersedekah).”
Seketika itu terdengarlah seruan dari langit:
أيها الناس لا تضجوا إن لمحمد ربا لن يخذله ولا يضيعه
“Wahai penduduk Makkah, janganlah kalian panik. Sesungguhnya Muhammad mempunyai Tuhan yang tidak akan mengecewakannya dan tidak mungkin meninggalkannya.”
Kemudian Sayyid Abdul Muthallib berkata: “Di manakah kami bisa menemukannya?”
Lalu terdengar lagi seruan dari langit:
إنه بوادي تهامة عند الشجرة اليمنى
“Sesungguhnya ia berada di lembah Tihamah, di dekat pohon Yumna.”
Dengan seketika Sayyid Abdul Muthallib bersama Sayyid Waraqah bin Naufal memacu kudanya menuju tempat tersebut dan tak lama kemudian mereka menemukan beliau Saw. di bawah pohon Yumna. Lalu Sayyid Abdul Muthallib mendekati beliau Saw. dan berkata: “Wahai anak kecil, siapakah engkau?”
Beliau Saw. menjawab: “Aku adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthallib.”
Kemudian Sayyid Abdul Muthallib turun dari kudanya dan berkata: “Aku adalah kakekmu Abdul Muthallib.”
Kemudian Sayyid Abdul Muthallibb pun menggendong dan memeluknya sambil berkata: “Demi engkau wahai anakku, aku rela mengorbankan jiwa dan ragaku.”
Kemudian Sayyid Abdul Muthallib naik ke kudanya dengan memangku beliau Saw. dan membawanya pulang ke Makkah. Sesampainya di Makkah, Sayyidah Halimah Ra. menyambut dengan penuh kegembiraan atas keselamatan beliau Saw. Kemudian mereka membawa beliau Saw. kepada ibundanya, Sayyidah Aminah Ra.
Esok harinya, Sayyid Abdul Muthallib memotong kambing dan sapi serta memanggil penduduk Makkah untuk mensyukuri keselamatan beliau Saw. serta memenuhi janjinya.
Disebutkan dalam kitab Sirah Ibnu Hisyam halaman 39, Sayyidah Halimah Ra. berkata: “Sesampainya kami di hadapan ibunda beliau Saw., maka beliau pun menyambut kami dengan baik. Dan dengan penuh takjub beliau berkata: “Wahai Halimah, apakah gerangan yang membuatmu mengembalikan anakku ini kepadaku, padahal sebagaimana yang telah engkau ungkapkan bahwa engkau sangatlah mencintai dan menyayanginya dan tak mau rasanya untuk berpisah darinya?”
Aku pun menjawab: “Wahai ibunda Muhammad, sesungguhnya Allah telah melimpahkan anugerahNya kepada kami dengan berkat anakmu ini. Dan sesungguhnya akupun sangat mencintai dan memuliakannya. Dan telah kucurahkan dengan segenap kasih sayang dan cintaku di dalam mengasuhnya. Namun demi kebaikan dan keselamatannya, kukembalikan kepadamu. Karena aku tidak ingin dan tak tega apabila ada sedikitpun sesuatu yang bisa membahayakannya. sebagaimana engkaupun menginginkan kebaikan dan keselamatan baginya.”
Lalu Sayyidah Aminah Ra. berkata: “Wahai Halimah, apakah yang telah terjadi? Jujurlah dan katakan kepadaku dengan terus terang.”
Maka akupun menceritakan kejadian tersebut (ancaman dari orang-orang yang iri dengki kepadanya, khususnya dukun-dukun sesat, dan terutama kisah dibelahnya dada beliau Saw. oleh makhluk yang tidak dikenalnya). Kemudian ibunda Rasulullah Saw. berkata: “Apa yang engkau khawatirkan wahai Halimah. Apakah engkau kira bahwa anakku ini diganggu oleh setan?
كلا والله ما للشيطان عليه من سبيل وإن لإبني شأنا
“Tidak mungkin, demi Allah. Tidaklah ada jalan bagi setan untuk bisa mengganggu anakku ini. Karena beliau Saw. selalu dilindungi oleh Allah Swt. dan para malaikatNya. Dan sesungguhnya anakku ini mempunyai keistimewaan dan keajaiban yang luar biasa.”
Kemudian ibunda Rasulullah Saw. menceritakan kejadiannya saat melahirkan beliau Saw. yang penuh dengan kejadian-kejadian yang luar biasa yang dengannya tidak diragukan lagi bahwa beliau Saw. adalah manusia utama kekasih Allah Swt. Dan akupun (Sayyidah Halimah Ra.) mendengarkannya dengan penuh kekaguman yang sangat luar biasa, hingga menjadi legalah hatiku dan semakin memuncaklah rasa kagum dan cintaku kepadanya. Sehingga dengannya, kamipun bisa pulang dengan hati yang tenang dan tentram.”
Setelah Sayyidah Halimah Ra. kembali ke kampungnya, maka selama 2 tahun, beliau Saw. diasuh langsung oleh ibu kandungnya (Sayyidah Aminah Ra.), dan dibantu oleh pembantunya (Barkah Ummu Aiman al-Habasyah) di bawah pengawasan kakeknya, Sayyid Abdul Muthallib, dengan penuh cinta dan kasih sayang. Dan beliau Saw. tumbuh dan berkembang di bawah lindungan dan didikan Allah Swt. untuk mempersiapkannya menjadi manusia utama, utusan yang terpilih dan junjungan seluruh alam.
KEWAFATAN IBUNDA RASULULLAH SAW.
Disebutkan dalam kitab Tafsir al-Quran al-Karim karya Imam Muqatil juz 3 halaman 194: “Ketika beliau Saw. berumur 6 tahun, ia diajak oleh ibundanya bersama dengan Ummu Aiman pergi ke Madinah untuk mengunjungi saudara dari kakeknya yaitu Bani ‘Adiy bin Najjar (keluarga ibunya Sayyid Abdul Muthallib yang bernama Sayyidah Salma binti Zaid bin ‘Adiy). Dan mereka menetap di situ selama satu bulan.”
Disebutkan pula dalam kitab as-Sirah Nabawiyyah juz 1 halaman 65: “Setelah Rasulullah Saw. hijrah ke Madinah, tidak lama kemudian beliau Saw. mengunjungi pula keluarga ibunya Sayyid Abdul Muthallib di daerah Bani Najjar untuk bersilaturrahim. Di situ beliau Saw. melihat rumah yang dulu pernah ia singgahi bersama ibundanya di saat beliau Saw. masih kecil. Kemudian beliau Saw. bersabda kepada para sahabat:
ههنا نزلت بي أمي وأحسنت العوم في بئر بني عدي بن نجار
“Di sinilah dulu aku pernah singgah bersama ibundaku. Dan di daerah ini pula aku dulu belajar berenang.”
Kemudian seorang Yahudi melihatku dan terus menerus memperhatikanku. Lalu ia bertanya kepadaku: “Siapakah namamu?”
Aku menjawab: “Namaku Ahmad.”
Kemudian ia melihat punggungku (menyingkap baju beliau Saw. dan melihat tanda kenabiannya). Dan aku mendengar ia berkata:
هذا نبي هذه الأمة وهذا هجرته
“Anak inilah yang akan menjadi nabinya umat sekarang ini. Dan di Madinah inilah tempat hijrahnya.”
Kemudian ia pergi mengabarkan kepada teman-temannya. Lalu mereka beritahukan hal tersebut kepada ibuku. Karena ibundaku mencemaskan diriku, merasakan khawatir kalau ada sesuatu yang membahayakan diriku, maka ibunda mengajakku pulang ke Makkah. Dan sesampainya di daerah Abwa’, ibundaku sakit. Lalu meninggal dan dikubur di sana dalam usia yang masih sangat muda sekitar 20 tahun.”
Sayyidah Aminah binti Wahb az-Zuhriyyah, diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dari Ummu Samma’ah binti Abi Ruhm dari ibunya berkata: “Aku menyaksikan Aminah di sakitnya yang dia wafat karenanya, dan Muhammad Saw. masih kecil berumur 5 tahun berada di bagian kepala bundanya. Sayyidah Aminah pun memandang Muhammad Saw. dan bersyair:
بارك فيك الله من غلامِ يا ابن الذي من حومة الحمامِ
نجا بعون الملِكِ المنعامِ فُوديَ غداة الضرب بالسهامِ
بمائة من إبل سوامِ إن صحَّ ما أبصرتُ في منامِي
فأنتَ مبعوث إلى الأنامِ من عند ذي الجلال والإكرامِ
تُبعث في الحل وفي الحرامِ تبعث بالتحقيق والإسلامِ
دين أبيك البرِّ إبراهامِ تبعث بالتخفيف والإسلامِ
أن لا تواليها مع الأقوامِ فالله أنهاك عن الأصنامِ
Kemudian Sayyidah Aminah berkata: “Setiap yang hidup mati, yang baru lapuk, yang tua lenyap, dan aku akan wafat dan namaku akan terus diingat, aku meninggalkan seorang yang mulia dan melahirkan yang suci.”
Kisah ini menunjukkan bagaimana Sayyidah Aminah, bunda Rasulullah Saw. merupakan ahli tauhid, dimana beliau menyatakan agamanya sebagai yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim As. Dan bahwa Muhammad diutus oleh Allah Dzul Jalali wal Ikram, dan mencegahnya dari berhala. Apa ada inti tauhid selain ini?
Adapun ayat dan hadits pelarangan istighfar untuk musyrikin, telah dijelaskan oleh ahli hadits dan sirah bahwa ayat tersebut tidak berhubungan dengan orangtua Rasulullah Saw. Di sana banyak lagi penjelasan berkaitan dengan ahli fatrah dan lainnya.
Disebutkan pula dalam kitab as-Sirah Nabawiyyah juz 1 halaman 65: “Setelah Rasulullah Saw. hijrah ke Madinah, tidak lama kemudian beliau Saw. mengunjungi pula keluarga ibunya Sayyid Abdul Muthallib di daerah Bani Najjar untuk bersilaturrahim. Di situ beliau Saw. melihat rumah yang dulu pernah ia singgahi bersama ibundanya di saat beliau Saw. masih kecil. Kemudian beliau Saw. bersabda kepada para sahabat:
ههنا نزلت بي أمي وأحسنت العوم في بئر بني عدي بن نجار
“Di sinilah dulu aku pernah singgah bersama ibundaku. Dan di daerah ini pula aku dulu belajar berenang.”
Kemudian seorang Yahudi melihatku dan terus menerus memperhatikanku. Lalu ia bertanya kepadaku: “Siapakah namamu?”
Aku menjawab: “Namaku Ahmad.”
Kemudian ia melihat punggungku (menyingkap baju beliau Saw. dan melihat tanda kenabiannya). Dan aku mendengar ia berkata:
هذا نبي هذه الأمة وهذا هجرته
“Anak inilah yang akan menjadi nabinya umat sekarang ini. Dan di Madinah inilah tempat hijrahnya.”
Kemudian ia pergi mengabarkan kepada teman-temannya. Lalu mereka beritahukan hal tersebut kepada ibuku. Karena ibundaku mencemaskan diriku, merasakan khawatir kalau ada sesuatu yang membahayakan diriku, maka ibunda mengajakku pulang ke Makkah. Dan sesampainya di daerah Abwa’, ibundaku sakit. Lalu meninggal dan dikubur di sana dalam usia yang masih sangat muda sekitar 20 tahun.”
Sayyidah Aminah binti Wahb az-Zuhriyyah, diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dari Ummu Samma’ah binti Abi Ruhm dari ibunya berkata: “Aku menyaksikan Aminah di sakitnya yang dia wafat karenanya, dan Muhammad Saw. masih kecil berumur 5 tahun berada di bagian kepala bundanya. Sayyidah Aminah pun memandang Muhammad Saw. dan bersyair:
بارك فيك الله من غلامِ يا ابن الذي من حومة الحمامِ
نجا بعون الملِكِ المنعامِ فُوديَ غداة الضرب بالسهامِ
بمائة من إبل سوامِ إن صحَّ ما أبصرتُ في منامِي
فأنتَ مبعوث إلى الأنامِ من عند ذي الجلال والإكرامِ
تُبعث في الحل وفي الحرامِ تبعث بالتحقيق والإسلامِ
دين أبيك البرِّ إبراهامِ تبعث بالتخفيف والإسلامِ
أن لا تواليها مع الأقوامِ فالله أنهاك عن الأصنامِ
Kemudian Sayyidah Aminah berkata: “Setiap yang hidup mati, yang baru lapuk, yang tua lenyap, dan aku akan wafat dan namaku akan terus diingat, aku meninggalkan seorang yang mulia dan melahirkan yang suci.”
Kisah ini menunjukkan bagaimana Sayyidah Aminah, bunda Rasulullah Saw. merupakan ahli tauhid, dimana beliau menyatakan agamanya sebagai yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim As. Dan bahwa Muhammad diutus oleh Allah Dzul Jalali wal Ikram, dan mencegahnya dari berhala. Apa ada inti tauhid selain ini?
Adapun ayat dan hadits pelarangan istighfar untuk musyrikin, telah dijelaskan oleh ahli hadits dan sirah bahwa ayat tersebut tidak berhubungan dengan orangtua Rasulullah Saw. Di sana banyak lagi penjelasan berkaitan dengan ahli fatrah dan lainnya.
KASIH SAYANG YANG SANGAT SANG KAKEK KEPADA RASULULLAH SAW.
Dalam kitab Madarij ash-Shu’ud halaman 27 disebutkan: “(Setelah wafatnya sang bunda) kemudian beliau Saw. dibawa pulang ke Makkah oleh Ummu Aiman al-Habasyah. Sesampainya di Makkah, beliau Saw. disambut oleh kakeknya (Sayyid Abdul Muthallib) dengan penuh belas kasih sayang. Dan sejak saat itulah beliau Saw. diasuh langsung oleh Sayyid Abdul Muthallib selama 2 tahun.
Sayyid Abdul Muthallib sangat mencurahkan segenap cinta dan kasih sayangnya di dalam mengasuh dan mendidik beliau Saw., serta memuliakan, mengutamakan, dan lebih mementingkan segala urusan beliau Saw. Karena Sayyid Abdul Muthallib telah mengetahui dan meyakini dengan adanya tanda-tanda dan kejadian-kejadian yang seringkali dialaminya, yang semuanya itu menunjukkan keutamaan dan keistimewaan beliau Saw.
Dan sebagaimana kebiasaan bangsawan Quraisy dan juga anak cucunda Sayyid Abdul Muthallib, mereka mempersiapkan persinggahan untuk Sayyid Abdul Muthallib, dengan menghamparkan permadani yang sangat indah di bawah naungan Ka’bah. Dan mereka (para bangsawan Quraisy dan anak cucu Sayyid Abdul Muthallib) senantiasa menghadirinya dan duduk di sekitarnya demi untuk mendengarkkan mauidzah hasanah, dengan tujuan untuk meningkatkan akhlaqul karimah dan juga untuk menyelesaikan berbagai macam masalah yang mereka alami.
Mereka (suku Quraisy) sangat memuliakan dan mengagungkan Sayyid Abdul Muthallib, karena kearifan, kebijaksanaan dan ketinggian ilmunya. Dan begitu pula beliau sangat memegang teguh ajaran Nabi Ibrahim As., sehingga beliau tidak terpengaruh adat-adat dan budaya jahiliyyah, seperti menyembah patung, minum arak, zina dan lain sebagainya. Dengan kemuliaan dan keutamaan beliau, maka tidak ada seorangpun dari bangsawan Quraisy ataupun anak cucunya yang berani duduk di persinggahan tersebut.
Dan pada suatu saat, Sayyid Abdul Muthallib sedang duduk di persinggahan tersebut untuk memberi mauidzah hasanah, tiba-tiba datang Nabi Saw. dan langsung menuju ke persinggahan tersebut. Serentak putra-putra Sayyid Abdul Muthallib melarangnya. Namun dengan seketika Sayyid Abdul Muthallib berkata dengan suara yang penuh wibawa: “Biarkanlah ia mendekatiku!” Kemudian Sayyid Abdul Muthallib memangku beliau Saw. seraya bersumpah:
فو الله إن لإبني هذا لشأنا عظيما أرجو أن يبلغ من الشرف مالا يبلغه أحد قبله أو بعده
“Demi Allah, sesungguhnya cucuku ini mempunyai keutamaan yang sangat agung, dan aku yakin cucuku ini akan menjadi orang yang sangat mulia yang tiada tandingannya sejak zaman dulu dan yang akan datang.”
Kemudian Sayyid Abdul Muthallib menyuapi beliau Saw. dengan hidangan yang ada di persinggahan tersebut. Dan mereka (para bangsawan Quraisy dan anak cucu Sayyid Abdul Muthallib) memandang beliau Saw. dengan pandangan yang penuh dengan takjub (kagum).
Begitupula setiap harinya di rumah Sayyid Abdul Muthallib, tidaklah disediakan makanan kecuali beliau terlebih dahulu memanggil Nabi Saw. untuk makan bersamanya dengan memangkunya atau duduk di sebelahnya sambil menyuapi dan memilihkan makanan yang terbaik untuk beliau Saw.
Disebutkan dalam kitab as-Sirah an-Nabawiyyah juz 1 halaman 73: “Pada suatu hari datanglah seorang uskup (kepala pendeta Nasrani) dari kota Najran ke Makkah dan menemui Sayyid Abdul Muthallib yang sedang duduk bersama putra-putranya. Uskup tersebut berkata: “Sesungguhnya saya datang kemari adalah untuk memberitahukan kepada Tuan, bahwa saya telah mendapatkan data yang sangat akurat dari Kitab Suci Injil, bahwa sekarang ini sudah tiba masanya datangnya Nabi Akhir Zaman yang sangat suci mulia. Yang mana beliau adalah dari keturunan Nabi Ismail As. dan lahir di kota suci Makkah ini.”
Kemudian uskup tersebut menceritakan tanda-tanda nabi tersebut. Lalu Sayyid Abdul Muthallib memanggil beliau Saw. Sesampainya beliau Saw. di hadapan Sayyid Abdul Muthallib, maka uskup tersebut melihat dan memperhatikan tanda-tanda yang ada pada beliau Saw. Dengan penuh takjub dia berkata: “Sungguh data-data yang kami dapati di kitab kami ada pada anak ini.”
Kemudian uskup tersebut bertanya: “Apa hubungan anak ini dengan Tuan?”
Sayyid Abdul Muthallib menjawab: “Dia adalah anakku.”
Kemudian uskup itu berkata: “Sesungguhnya data yang kami dapati di kitab kami, dia adalah anak yatim.”
Maka Sayyid Abdul Muthallib berkata: “Sesungguhnya dia adalah cucuku, ayah ibunya telah meninggal dunia.”
Maka uskup tersebut berkata: “Ya benar, seperti itulah data yang aku dapati di Kitab Suci kami (Injil).”
Kemudian Sayyid Abdul Muthallib berkata kepada putra-putranya: “Bukankah kalian telah mendengar sendiri apa yang telah dikatakan oleh uskup tersebut? Maka aku perintahkan kepada kalian untuk selalu menjaga dan melindunginya dengan sungguh-sungguh.”
Setiap kali kaum Quraisy mengalami kekeringan di daerahnya, maka bangsawan-bangsawan Quraisy dan kaum di sekitarnya berdatangan menghadap kepada Sayyid Abdul Muthallib dan memohon agar beliau beristisqa’ (berdoa kepada Allah Swt. agar menurunkan hujan). Dan saat itu setiap kali Sayyid Abdul Muthallib melaksanakannya maka ia mengajak masyarakat sekitarnya berbondong-bondong menuju ke atas bukit dengan membawa beliau Saw. untuk bertawassul dengannya. Dan di situlah ia berdoa kepada Allah Swt. Dan hanya berkat beliau Saw. lah maka Allah Swt. mengabulkan doanya dengan seketika.
Sayyid Abdul Muthallib selalu berwasiat kepada putra-putranya untuk senantiasa menjaga, melindungi dan merawat beliau Saw. dengan penuh cinta dan kasih sayang. Dan diantara putra-putra Sayyid Abdul Muthallib yang paling serius untuk menanggapi wasiatnya adalah Sayyid Abu Thalib, saudara kandung Sayyid Abdullah ayahanda beliau Saw.
Dan sesungguhnya Sayyid Abu Thalib seringkali mendengar tentang keutamaan dan keistimewaan beliau Saw. dari ayahandanya. Bahkan ia menyaksikan sendiri peristiwa-peristiwa yang sangat agung dan menakjubkan, sehingga tumbuh dalam hatinya rasa cinta dan kekagumannya yang sangat luar biasa kepada beliau Saw. Maka pada saat Sayyid Abdul Muthallib sudah dekat ajalnya, hanya beliaulah yang ditunjuk untuk merawat Nabi Saw. Dan tak lama kemudian Sayyid Abdul Muthallib pun wafat pada usia lebih dari 110 tahun. Jasad beliau dimakamkan di kuburan yang dikenal dengan nama al-Hajun di Makkah. Dan pada saat itu, Nabi Saw. berusia 8 tahun.
Pada saat meninggalnya Sayyid Abdul Muthalib, beliau Saw. sangat sedih sekali. Bahkan seluruh penduduk Makkah ikut bersedih dan berduka cita sampai berhari-hari atas meninggalnya pemimpin mereka yang sangat mereka cintai.
Sayyid Abdul Muthallib sangat mencurahkan segenap cinta dan kasih sayangnya di dalam mengasuh dan mendidik beliau Saw., serta memuliakan, mengutamakan, dan lebih mementingkan segala urusan beliau Saw. Karena Sayyid Abdul Muthallib telah mengetahui dan meyakini dengan adanya tanda-tanda dan kejadian-kejadian yang seringkali dialaminya, yang semuanya itu menunjukkan keutamaan dan keistimewaan beliau Saw.
Dan sebagaimana kebiasaan bangsawan Quraisy dan juga anak cucunda Sayyid Abdul Muthallib, mereka mempersiapkan persinggahan untuk Sayyid Abdul Muthallib, dengan menghamparkan permadani yang sangat indah di bawah naungan Ka’bah. Dan mereka (para bangsawan Quraisy dan anak cucu Sayyid Abdul Muthallib) senantiasa menghadirinya dan duduk di sekitarnya demi untuk mendengarkkan mauidzah hasanah, dengan tujuan untuk meningkatkan akhlaqul karimah dan juga untuk menyelesaikan berbagai macam masalah yang mereka alami.
Mereka (suku Quraisy) sangat memuliakan dan mengagungkan Sayyid Abdul Muthallib, karena kearifan, kebijaksanaan dan ketinggian ilmunya. Dan begitu pula beliau sangat memegang teguh ajaran Nabi Ibrahim As., sehingga beliau tidak terpengaruh adat-adat dan budaya jahiliyyah, seperti menyembah patung, minum arak, zina dan lain sebagainya. Dengan kemuliaan dan keutamaan beliau, maka tidak ada seorangpun dari bangsawan Quraisy ataupun anak cucunya yang berani duduk di persinggahan tersebut.
Dan pada suatu saat, Sayyid Abdul Muthallib sedang duduk di persinggahan tersebut untuk memberi mauidzah hasanah, tiba-tiba datang Nabi Saw. dan langsung menuju ke persinggahan tersebut. Serentak putra-putra Sayyid Abdul Muthallib melarangnya. Namun dengan seketika Sayyid Abdul Muthallib berkata dengan suara yang penuh wibawa: “Biarkanlah ia mendekatiku!” Kemudian Sayyid Abdul Muthallib memangku beliau Saw. seraya bersumpah:
فو الله إن لإبني هذا لشأنا عظيما أرجو أن يبلغ من الشرف مالا يبلغه أحد قبله أو بعده
“Demi Allah, sesungguhnya cucuku ini mempunyai keutamaan yang sangat agung, dan aku yakin cucuku ini akan menjadi orang yang sangat mulia yang tiada tandingannya sejak zaman dulu dan yang akan datang.”
Kemudian Sayyid Abdul Muthallib menyuapi beliau Saw. dengan hidangan yang ada di persinggahan tersebut. Dan mereka (para bangsawan Quraisy dan anak cucu Sayyid Abdul Muthallib) memandang beliau Saw. dengan pandangan yang penuh dengan takjub (kagum).
Begitupula setiap harinya di rumah Sayyid Abdul Muthallib, tidaklah disediakan makanan kecuali beliau terlebih dahulu memanggil Nabi Saw. untuk makan bersamanya dengan memangkunya atau duduk di sebelahnya sambil menyuapi dan memilihkan makanan yang terbaik untuk beliau Saw.
Disebutkan dalam kitab as-Sirah an-Nabawiyyah juz 1 halaman 73: “Pada suatu hari datanglah seorang uskup (kepala pendeta Nasrani) dari kota Najran ke Makkah dan menemui Sayyid Abdul Muthallib yang sedang duduk bersama putra-putranya. Uskup tersebut berkata: “Sesungguhnya saya datang kemari adalah untuk memberitahukan kepada Tuan, bahwa saya telah mendapatkan data yang sangat akurat dari Kitab Suci Injil, bahwa sekarang ini sudah tiba masanya datangnya Nabi Akhir Zaman yang sangat suci mulia. Yang mana beliau adalah dari keturunan Nabi Ismail As. dan lahir di kota suci Makkah ini.”
Kemudian uskup tersebut menceritakan tanda-tanda nabi tersebut. Lalu Sayyid Abdul Muthallib memanggil beliau Saw. Sesampainya beliau Saw. di hadapan Sayyid Abdul Muthallib, maka uskup tersebut melihat dan memperhatikan tanda-tanda yang ada pada beliau Saw. Dengan penuh takjub dia berkata: “Sungguh data-data yang kami dapati di kitab kami ada pada anak ini.”
Kemudian uskup tersebut bertanya: “Apa hubungan anak ini dengan Tuan?”
Sayyid Abdul Muthallib menjawab: “Dia adalah anakku.”
Kemudian uskup itu berkata: “Sesungguhnya data yang kami dapati di kitab kami, dia adalah anak yatim.”
Maka Sayyid Abdul Muthallib berkata: “Sesungguhnya dia adalah cucuku, ayah ibunya telah meninggal dunia.”
Maka uskup tersebut berkata: “Ya benar, seperti itulah data yang aku dapati di Kitab Suci kami (Injil).”
Kemudian Sayyid Abdul Muthallib berkata kepada putra-putranya: “Bukankah kalian telah mendengar sendiri apa yang telah dikatakan oleh uskup tersebut? Maka aku perintahkan kepada kalian untuk selalu menjaga dan melindunginya dengan sungguh-sungguh.”
Setiap kali kaum Quraisy mengalami kekeringan di daerahnya, maka bangsawan-bangsawan Quraisy dan kaum di sekitarnya berdatangan menghadap kepada Sayyid Abdul Muthallib dan memohon agar beliau beristisqa’ (berdoa kepada Allah Swt. agar menurunkan hujan). Dan saat itu setiap kali Sayyid Abdul Muthallib melaksanakannya maka ia mengajak masyarakat sekitarnya berbondong-bondong menuju ke atas bukit dengan membawa beliau Saw. untuk bertawassul dengannya. Dan di situlah ia berdoa kepada Allah Swt. Dan hanya berkat beliau Saw. lah maka Allah Swt. mengabulkan doanya dengan seketika.
Sayyid Abdul Muthallib selalu berwasiat kepada putra-putranya untuk senantiasa menjaga, melindungi dan merawat beliau Saw. dengan penuh cinta dan kasih sayang. Dan diantara putra-putra Sayyid Abdul Muthallib yang paling serius untuk menanggapi wasiatnya adalah Sayyid Abu Thalib, saudara kandung Sayyid Abdullah ayahanda beliau Saw.
Dan sesungguhnya Sayyid Abu Thalib seringkali mendengar tentang keutamaan dan keistimewaan beliau Saw. dari ayahandanya. Bahkan ia menyaksikan sendiri peristiwa-peristiwa yang sangat agung dan menakjubkan, sehingga tumbuh dalam hatinya rasa cinta dan kekagumannya yang sangat luar biasa kepada beliau Saw. Maka pada saat Sayyid Abdul Muthallib sudah dekat ajalnya, hanya beliaulah yang ditunjuk untuk merawat Nabi Saw. Dan tak lama kemudian Sayyid Abdul Muthallib pun wafat pada usia lebih dari 110 tahun. Jasad beliau dimakamkan di kuburan yang dikenal dengan nama al-Hajun di Makkah. Dan pada saat itu, Nabi Saw. berusia 8 tahun.
Pada saat meninggalnya Sayyid Abdul Muthalib, beliau Saw. sangat sedih sekali. Bahkan seluruh penduduk Makkah ikut bersedih dan berduka cita sampai berhari-hari atas meninggalnya pemimpin mereka yang sangat mereka cintai.
PERBEDAAN MENJADI INDAH DENGAN AKHLAQUL KARIMAH
“Tata Krama dalam Perbedaan Pendapat; Kisah KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Faqih Maskumambang”
PERBEDAAN MENJADI INDAH DENGAN AKHLAQUL KARIMAH
“Tata Krama dalam Perbedaan Pendapat; Kisah KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Faqih Maskumambang”
Dalam terbitan perdana sebuah jurnal ilmiah bulanan Nahdlatul Ulama, yang diterbitkan pada 1928 dan bertahan sampai tahun 60-an, KH. Hasyim Asy’ari menuliskan fatwa bahwa penggunaan kentongan (alat dari kayu yang dipukul hingga berbunyi nyaring) tidak diperkenankan untuk memanggil shalat dalam hukum Islam. Dasar dari pendapat beliau itu adalah bahwa penggunaan alat itu tidak ditemukan dalilnya.
Mbah Hasyim, begitu beliau biasa disebut memang dikenal sebagai seorang ulama yang sangat menguasai ilmu hadits, karena itu sangat wajar apabila beliau berpendapat seperti itu, karena memang tidak ditemukan dalil sharih mengenai kebolehan penggunaan alat tersebut.
Pendapat tersebut disanggah oleh Kyai Faqih Maskumambang, Gresik, wakil beliau. Dalam penerbitan bulan berikutnya jurnal tersebut, Kyai Faqih menyatakan bahwa kentongan boleh digunakan. Alasan beliau adalah kentongan diqiyaskan (disamakan) dengan beduk sebagai alat pemanggil shalat. Jika bedug boleh digunakan tentunya kentongan juga boleh digunakan.
Segera setelah uraian Kyai Faqih itu muncul, KH. M. Hasyim Asy’ari segera memanggil para ulama se-Jombang dan para santri senior beliau untuk berkumpul di Pesantren Tebu Ireng, Jombang. Beliau lalu memerintahkan kedua artikel itu untuk dibacakan kepada para hadirin. Setelah itu, beliau menyatakan mereka dapat menggunakan salah satu dari kedua alat pemanggil itu dengan bebas. Yang beliau minta hanyalah satu hal, yaitu hendaknya di masjid Tebu Ireng, Jombang kentongan itu tidak digunakan selama-lamanya. Pandangan beliau itu mencerminkan sikap sangat menghormati pendapat Kyai Faqih Maskumambang tersebut.
Dalam bulan Maulid-Rabi’ul Awwal berikutnya, KH. Hasyim Asy’ari diundang untuk memberikan ceramah di Pesantren Maskumambang. Tiga hari sebelumnya, para utusan Kyai Faqih Maskumambang menemui para ketua ta’mir masjid dan surau yang ada di Kabupaten Gresik dengan membawa pesan beliau: “Selama Kyai M. Hasyim Asy’ari berada di kawasan kabupaten tersebut, semua kentongan yang ada harus diturunkan dari tempat bergantungnya alat itu.” Sikap ini diambil beliau karena penghormatan beliau terhadap KH. Hasyim Asy’ari.
Setelah selesai melaksanakan tugas, para santri itu pun menghadap kembali kepada sang kyai. Salah satu santri maju ke hadapan Kyai Faqih dan berkata dengan polosnya: “Maaf Kyai, amanat Kyai kepada kami untuk menurunkan semua kentongan selama kedatangan Kyai Hasyim Asy’ari sudah kami laksanakan.”
Sontak saja KH. Faqih menjadi sangat malu. Pasalnya kyai yang disinggung dalam amanat beliau itu sudah duduk di hadapannya sedari tadi. Tiada lain beliau adalah KH. Hasyim Asy’ari. Rupanya para santri tidak tahu bahwa yang berada di hadapan kyai mereka adalah KH. Hasyim Asy’ari.
Dengan tersenyum menyimpan malu, KH. Faqih pun berkata kepada para santrinya: “Ya sudah, sini kalian semua cium tangan Kyai Hasyim Asy’ari.”
Dalam buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita Semua halaman 256-257, KH. Abdurrahman Wahid/Gus Dur mengatakan: “Meyakini sebuah kebenaran, tidak berarti hilangnya sikap menghormati pandangan orang lain, sebuah sikap tanda kematangan pribadi kedua tokoh tersebut. Begitulah tatakrama dalam perbedaan pendapat yang ditunjukkan oleh para pendahulu kita, suatu sikap yang harus diteladani dan dilestarikan.”
“Tata Krama dalam Perbedaan Pendapat; Kisah KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Faqih Maskumambang”
Dalam terbitan perdana sebuah jurnal ilmiah bulanan Nahdlatul Ulama, yang diterbitkan pada 1928 dan bertahan sampai tahun 60-an, KH. Hasyim Asy’ari menuliskan fatwa bahwa penggunaan kentongan (alat dari kayu yang dipukul hingga berbunyi nyaring) tidak diperkenankan untuk memanggil shalat dalam hukum Islam. Dasar dari pendapat beliau itu adalah bahwa penggunaan alat itu tidak ditemukan dalilnya.
Mbah Hasyim, begitu beliau biasa disebut memang dikenal sebagai seorang ulama yang sangat menguasai ilmu hadits, karena itu sangat wajar apabila beliau berpendapat seperti itu, karena memang tidak ditemukan dalil sharih mengenai kebolehan penggunaan alat tersebut.
Pendapat tersebut disanggah oleh Kyai Faqih Maskumambang, Gresik, wakil beliau. Dalam penerbitan bulan berikutnya jurnal tersebut, Kyai Faqih menyatakan bahwa kentongan boleh digunakan. Alasan beliau adalah kentongan diqiyaskan (disamakan) dengan beduk sebagai alat pemanggil shalat. Jika bedug boleh digunakan tentunya kentongan juga boleh digunakan.
Segera setelah uraian Kyai Faqih itu muncul, KH. M. Hasyim Asy’ari segera memanggil para ulama se-Jombang dan para santri senior beliau untuk berkumpul di Pesantren Tebu Ireng, Jombang. Beliau lalu memerintahkan kedua artikel itu untuk dibacakan kepada para hadirin. Setelah itu, beliau menyatakan mereka dapat menggunakan salah satu dari kedua alat pemanggil itu dengan bebas. Yang beliau minta hanyalah satu hal, yaitu hendaknya di masjid Tebu Ireng, Jombang kentongan itu tidak digunakan selama-lamanya. Pandangan beliau itu mencerminkan sikap sangat menghormati pendapat Kyai Faqih Maskumambang tersebut.
Dalam bulan Maulid-Rabi’ul Awwal berikutnya, KH. Hasyim Asy’ari diundang untuk memberikan ceramah di Pesantren Maskumambang. Tiga hari sebelumnya, para utusan Kyai Faqih Maskumambang menemui para ketua ta’mir masjid dan surau yang ada di Kabupaten Gresik dengan membawa pesan beliau: “Selama Kyai M. Hasyim Asy’ari berada di kawasan kabupaten tersebut, semua kentongan yang ada harus diturunkan dari tempat bergantungnya alat itu.” Sikap ini diambil beliau karena penghormatan beliau terhadap KH. Hasyim Asy’ari.
Setelah selesai melaksanakan tugas, para santri itu pun menghadap kembali kepada sang kyai. Salah satu santri maju ke hadapan Kyai Faqih dan berkata dengan polosnya: “Maaf Kyai, amanat Kyai kepada kami untuk menurunkan semua kentongan selama kedatangan Kyai Hasyim Asy’ari sudah kami laksanakan.”
Sontak saja KH. Faqih menjadi sangat malu. Pasalnya kyai yang disinggung dalam amanat beliau itu sudah duduk di hadapannya sedari tadi. Tiada lain beliau adalah KH. Hasyim Asy’ari. Rupanya para santri tidak tahu bahwa yang berada di hadapan kyai mereka adalah KH. Hasyim Asy’ari.
Dengan tersenyum menyimpan malu, KH. Faqih pun berkata kepada para santrinya: “Ya sudah, sini kalian semua cium tangan Kyai Hasyim Asy’ari.”
Dalam buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita Semua halaman 256-257, KH. Abdurrahman Wahid/Gus Dur mengatakan: “Meyakini sebuah kebenaran, tidak berarti hilangnya sikap menghormati pandangan orang lain, sebuah sikap tanda kematangan pribadi kedua tokoh tersebut. Begitulah tatakrama dalam perbedaan pendapat yang ditunjukkan oleh para pendahulu kita, suatu sikap yang harus diteladani dan dilestarikan.”
PERHATIAN PENUH SANG PAMAN DEMI MELINDUNGI RASULULLAH SAW.
Diriwayatkan dalam kitab as-Sirah an-Nabawiyyah juz 1 halaman 87: “Sesungguhnya Sayyid Abu Thalib mempunyai kepribadian yang sangat mulia sebagaimana ayahandanya. Beliau sangat memegang teguh ajaran Nabi Ibrahim As. Sehingga beliau tidak terpengaruh oleh adat-adat dan budaya jahiliyyah, seperti menyembah patung, minum arak, zina dan lain sebagainya.”
Sebagaimana disebutkan dalam kitab Madarij ash-Shu’ud halaman 28: “Setelah meninggalnya Sayyid Abdul Muthallib, maka secara langsung Sayyid Abu Thalib melaksanakan wasiat ayahandanya untuk mengasuh Nabi Saw. dengan penuh kasih sayang dan rasa cinta yang memuncak. Bahkan Sayyid Abu Thalib siap untuk mempertaruhkan jiwa dan raganya demi untuk merawat dan melindungi beliau Saw. dari segala sesuatu yang bisa membahayakannya.
Cinta Sayyid Abu Thalib kepada Nabi Saw. melebihi cintanya kepada anak kandungnya sendiri. Bahkan tidaklah ia makan bersama dengan putra-putranya kecuali mendahulukan Nabi Saw. dengan memilihkan makanan yang terbaik untuknya. Ke manapun Sayyid Abu Thalib pergi, beliau Saw. selalu dibawanya hingga pada saat tidur pun Sayyid Abu Thalib menemaninya.”
Diriwayatkan dalam kitab as-Sirah an-Nabawiyyah juz 1 halaman 88: “Setiap Nabi Saw. bangun tidur, terlihat pada dirinya keutamaan-keutamaan yang sangat nampak tidak seperti manusia umumnya. Sesungguhnya beliau Saw. setiap bangun dari tidur terlihat cahaya yang anggun keluar dari dirinya, rambutnya telah tersisir dengan rapi, terbasahi dengan minyak, dan terlihat sepertinya telah memakai celak mata, bau harum semerbak keluar dari dirinya, dan kelihatan segar bersih seperti orang baru mandi. Dan hal itu, semata-mata adalah anugerah dari Allah Swt. demi untuk memuliakan beliau Saw.
Pengasuh beliau Saw. yang bernama Ummu Aiman pernah berkata: “Sesungguhnya beliau Saw. tidak pernah mengeluh lapar atau haus. Bahkan aku sering mempersilakan beliau Saw. untuk makan, namun beliau Saw. menjawab: “Aku masih kenyang”, sebagaimana yang pernah disabdakan sendiri oleh Nabi Saw.: “Sesungguhnya seringkali Allah Swt. menganugerahkan kepadaku rasa kenyang dan segar meskipun aku belum makan atau minum.”
Al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi dalam kitab maulidnya Simthu ad-Durar berkata tentang keutamaan kepribadian Nabi Saw.:
إنه صلى الله عليه وسلم بشر لا كالبشر
“Sesungguhnya beliau Saw. adalah manusia tetapi bukan seperti manusia biasa.”
Pada suatu saat kota Makkah mengalami kemarau, maka para bangsawan Quraisy dan sebagian penduduk Makkah menghadap Sayyid Abu Thalib, karena beliau dianggap oleh mereka sebagai khalifah atau pengganti Sayyid Abdul Muthallib, agar beliau beristisqa’. Dengan segera Sayyid Abu Thalib bangkit menuju Ka’bah yang dimuliakan Allah Swt. dengan membawa beliau Saw.
Sesampainya di Ka’bah, Sayyid Abu Thalib mengangkat beliau Saw. dan menempelkan punggung beliau Saw. ke dinding Ka’bah. Kemudian memohon agar beliau Saw. beristisqa’. Lalu beliau Saw. mengangkat jari telunjuknya ke langit seraya menundukkan kepalanya memohon dan berdoa kepada Allah Swt. agar menurunkan hujan. Dengan seketika, mega-mega terkumpul dari segala penjuru dan turunlah hujan dengan derasnya hingga kota Makkah dan sekitarnya menjadi subur yang sangat luar biasa.
Demikianlah tahun demi tahun berlalu, beliau Saw. hidup bersama dengan Sayyid Abu Thalib dengan dibantu oleh pamandanya yang lain bernama Sayyid Zubair (saudara sekandung Sayyid Abdullah, ayahanda Nabi Saw.), dalam kedamaian dan ketentraman. Tidak ada satupun yang berani mengganggu ataupun mencelakainya.
Diriwayatkan dalam kitab as-Sirah an-Nabawiyyah juz 1 halaman 62: “Pada saat beliau Saw. berusia 10 tahun, kembali dibelah dadanya oleh Malaikat Jibril As. dan Malaikat Mikail As. untuk yang kedua kalinya dengan tanpa rasa cemas ataupun sakit sedikitpun sebagaimana yang pernah terjadi sebelumnnya.”
Pada halaman 97 disebutkan: “Saat usia menjelang 11 tahun beliau Saw. diajak oleh pamandanya, Sayyid Zubair, bepergian bersama rombongan pedagang penduduk Makkah ke Yaman. Sesampainya mereka di suatu lembah antara Yaman dan Makkah, mereka diserang oleh onta jantan yang liar. Namun tatkala onta tersebut melihat beliau Saw. seketika menghentikan serangannya, bahkan onta tersebut duduk bersimpuh di hadapan beliau Saw. Kemudian beliau Saw. turun dari ontanya dan menaiki onta liar tersebut sampai melewati lembah. Lantas beliau Saw. turun dan membiarkan onta liar tersebut pergi dan beliau Saw. pun meneruskan perjalanannya ke negara Yaman.
Dan sepulangnya mereka dari Yaman, mereka melewati suatu lembah yang penuh dengan air yang mengalir dengan deras sehingga mereka tak mampu untuk menyeberanginya. Kemudian beliau Saw. berkata: “Wahai kaum, ikutilah aku.”
Sesampainya beliau Saw. di tepi sungai tersebut, dengan izin Allah Swt. dan demi kemuliaan beliau Saw. di sisiNya, maka Allah Swt. mengeringkannya sehingga mereka bisa melewatinya dengan selamat.
Sesampainya di Makkah, mereka saling bercerita tentang kejadian-kejadian yang sangat mengagumkan yang mereka alami bersama beliau Saw. tersebut. Para penduduk Makkah saling mengomentari dengan berkata: “Sesungguhnya anak ini mempunyai keistimewaan yang sangat agung.”
Demikianlah Sayyid Abu Thalib, Sayyid Zubair dan paman-paman beliau Saw. lainnya semakin memuncak rasa kagum dan cintanya kepada beliau Saw. Bahkan seluruh penduduk Makkah pun memandang beliau Saw. dengan penuh kekaguman atas akhlak dan budi pekerti beliau Saw. yang sangat luhur serta keistimewaan-keistimewaan yang ada dalam kepribadiannya.
Sebagaimana disebutkan dalam kitab Madarij ash-Shu’ud halaman 28: “Setelah meninggalnya Sayyid Abdul Muthallib, maka secara langsung Sayyid Abu Thalib melaksanakan wasiat ayahandanya untuk mengasuh Nabi Saw. dengan penuh kasih sayang dan rasa cinta yang memuncak. Bahkan Sayyid Abu Thalib siap untuk mempertaruhkan jiwa dan raganya demi untuk merawat dan melindungi beliau Saw. dari segala sesuatu yang bisa membahayakannya.
Cinta Sayyid Abu Thalib kepada Nabi Saw. melebihi cintanya kepada anak kandungnya sendiri. Bahkan tidaklah ia makan bersama dengan putra-putranya kecuali mendahulukan Nabi Saw. dengan memilihkan makanan yang terbaik untuknya. Ke manapun Sayyid Abu Thalib pergi, beliau Saw. selalu dibawanya hingga pada saat tidur pun Sayyid Abu Thalib menemaninya.”
Diriwayatkan dalam kitab as-Sirah an-Nabawiyyah juz 1 halaman 88: “Setiap Nabi Saw. bangun tidur, terlihat pada dirinya keutamaan-keutamaan yang sangat nampak tidak seperti manusia umumnya. Sesungguhnya beliau Saw. setiap bangun dari tidur terlihat cahaya yang anggun keluar dari dirinya, rambutnya telah tersisir dengan rapi, terbasahi dengan minyak, dan terlihat sepertinya telah memakai celak mata, bau harum semerbak keluar dari dirinya, dan kelihatan segar bersih seperti orang baru mandi. Dan hal itu, semata-mata adalah anugerah dari Allah Swt. demi untuk memuliakan beliau Saw.
Pengasuh beliau Saw. yang bernama Ummu Aiman pernah berkata: “Sesungguhnya beliau Saw. tidak pernah mengeluh lapar atau haus. Bahkan aku sering mempersilakan beliau Saw. untuk makan, namun beliau Saw. menjawab: “Aku masih kenyang”, sebagaimana yang pernah disabdakan sendiri oleh Nabi Saw.: “Sesungguhnya seringkali Allah Swt. menganugerahkan kepadaku rasa kenyang dan segar meskipun aku belum makan atau minum.”
Al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi dalam kitab maulidnya Simthu ad-Durar berkata tentang keutamaan kepribadian Nabi Saw.:
إنه صلى الله عليه وسلم بشر لا كالبشر
“Sesungguhnya beliau Saw. adalah manusia tetapi bukan seperti manusia biasa.”
Pada suatu saat kota Makkah mengalami kemarau, maka para bangsawan Quraisy dan sebagian penduduk Makkah menghadap Sayyid Abu Thalib, karena beliau dianggap oleh mereka sebagai khalifah atau pengganti Sayyid Abdul Muthallib, agar beliau beristisqa’. Dengan segera Sayyid Abu Thalib bangkit menuju Ka’bah yang dimuliakan Allah Swt. dengan membawa beliau Saw.
Sesampainya di Ka’bah, Sayyid Abu Thalib mengangkat beliau Saw. dan menempelkan punggung beliau Saw. ke dinding Ka’bah. Kemudian memohon agar beliau Saw. beristisqa’. Lalu beliau Saw. mengangkat jari telunjuknya ke langit seraya menundukkan kepalanya memohon dan berdoa kepada Allah Swt. agar menurunkan hujan. Dengan seketika, mega-mega terkumpul dari segala penjuru dan turunlah hujan dengan derasnya hingga kota Makkah dan sekitarnya menjadi subur yang sangat luar biasa.
Demikianlah tahun demi tahun berlalu, beliau Saw. hidup bersama dengan Sayyid Abu Thalib dengan dibantu oleh pamandanya yang lain bernama Sayyid Zubair (saudara sekandung Sayyid Abdullah, ayahanda Nabi Saw.), dalam kedamaian dan ketentraman. Tidak ada satupun yang berani mengganggu ataupun mencelakainya.
Diriwayatkan dalam kitab as-Sirah an-Nabawiyyah juz 1 halaman 62: “Pada saat beliau Saw. berusia 10 tahun, kembali dibelah dadanya oleh Malaikat Jibril As. dan Malaikat Mikail As. untuk yang kedua kalinya dengan tanpa rasa cemas ataupun sakit sedikitpun sebagaimana yang pernah terjadi sebelumnnya.”
Pada halaman 97 disebutkan: “Saat usia menjelang 11 tahun beliau Saw. diajak oleh pamandanya, Sayyid Zubair, bepergian bersama rombongan pedagang penduduk Makkah ke Yaman. Sesampainya mereka di suatu lembah antara Yaman dan Makkah, mereka diserang oleh onta jantan yang liar. Namun tatkala onta tersebut melihat beliau Saw. seketika menghentikan serangannya, bahkan onta tersebut duduk bersimpuh di hadapan beliau Saw. Kemudian beliau Saw. turun dari ontanya dan menaiki onta liar tersebut sampai melewati lembah. Lantas beliau Saw. turun dan membiarkan onta liar tersebut pergi dan beliau Saw. pun meneruskan perjalanannya ke negara Yaman.
Dan sepulangnya mereka dari Yaman, mereka melewati suatu lembah yang penuh dengan air yang mengalir dengan deras sehingga mereka tak mampu untuk menyeberanginya. Kemudian beliau Saw. berkata: “Wahai kaum, ikutilah aku.”
Sesampainya beliau Saw. di tepi sungai tersebut, dengan izin Allah Swt. dan demi kemuliaan beliau Saw. di sisiNya, maka Allah Swt. mengeringkannya sehingga mereka bisa melewatinya dengan selamat.
Sesampainya di Makkah, mereka saling bercerita tentang kejadian-kejadian yang sangat mengagumkan yang mereka alami bersama beliau Saw. tersebut. Para penduduk Makkah saling mengomentari dengan berkata: “Sesungguhnya anak ini mempunyai keistimewaan yang sangat agung.”
Demikianlah Sayyid Abu Thalib, Sayyid Zubair dan paman-paman beliau Saw. lainnya semakin memuncak rasa kagum dan cintanya kepada beliau Saw. Bahkan seluruh penduduk Makkah pun memandang beliau Saw. dengan penuh kekaguman atas akhlak dan budi pekerti beliau Saw. yang sangat luhur serta keistimewaan-keistimewaan yang ada dalam kepribadiannya.
PERJUMPAAN RASULULLAH SAW. DENGAN PARA RAHIB (PENDETA)
Tatkala usia beliau Saw. 12 tahun, Sayyid Abu Thalib berencana untuk bepergian ke Syam bersama dengan rombongan pedagang Quraisy sebagaimana yang biasa mereka lakukan. Maka Sayyid Abu Thalib menitipkan beliau Saw. pada para pamannya yang lain agar diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Namun beliau Saw. memohon kepada Sayyid Abu Thalib untuk mengajaknya dalam kepergian tersebut. Karena rasa cinta dan kasih sayangnya, Sayyid Abu Thalib tak tega untuk menolak permohonan beliau Saw. Sehingga rombongan tersebut pun berangkat ke Syam dengan membawa beliau Saw.
Sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Nawawi al-Bantani dalam kitab Madarij ash-Shu’ud Syarh al-Barzanji halaman 29: “Saat usia beliau Saw. 12 tahun, Sayyid Abu Thalib berencana untuk pergi berdagang ke Syam dan meninggalkan beliau Saw. di Makkah. Namun beliau Saw. memegang tangan Sayyid Abu Thalib seraya memohon agar mengajaknya. Karena cinta dan kasih sayangnya, Sayyid Abu Thalib tak tega untuk menolak permohonan beliau Saw. Kemudian Sayyid Abu Thalib pun berangkat bersama rombongannya dengan menaikkan beliau Saw. di atas ontanya.
Dalam perjalanannya mereka melewati suatu perkampungan. Lalu merekapun menuju ke tempat kepala suku perkampungan tersebut untuk beristirahat. Dan ternyata dia adalah seorang rahib (pendeta) yang berpegang pada kitab Injil yang masih murni dan ia telah mengetahui dari kitab tersebut tentang tanda-tanda Nabi Akhir Zaman.
Kemudian rahib tersebut melihat beliau Saw. dengan penuh takjub karena adanya tanda-tanda kenabian yang telah ia ketahui ada dalam kepribadian beliau Saw. Dengan seketika rahib tersebut bertanya kepada Sayyid Abu Thalib: “Apa hubungan anak ini dengan Tuan?”
Sayyid Abu Thalib menjawab: “Ia adalah anakku.”
Seketika pula rahib berkata: “Sungguh dia bukanlah anakmu. Tidak mungkin orang tuanya masih hidup.”
Sayyid Abu Thalib kemudian berkata: “Ya benar, kenapa kamu bisa mengatakan begitu?”
Rahib tersebut menjawab: “Karena saya telah mengetahui bahwa tanda-tanda Nabi Akhir Zaman ini sangat jelas ada dalam kepribadiannya, dan beliau adalah anak yatim. Tolong jagalah anak ini dari orang-orang Yahudi. Karena kebanyakan dari mereka ingin mencelakainya.”
Setelah cukup beristirahat, rombongan tersebut meneruskan perjalanannya. Beberapa lama kemudian mereka melewati suatu perkampungan yang pemimpinnya juga seorang rahib. Setelah rahib tersebut melihat beliau Saw., maka rahib itupun berkata sebagaimana yang dikatakan oleh rahib yang sebelumnya. Dan berwasiat kepada Sayyid Abu Thalib agar menjaga dan melindunginya dari orang-orang Yahudi. Kemudian Sayyid Abu Thalib berkata kepada beliau Saw.: “Wahai anak saudaraku, apakah engkau mendengar apa yang telah dikatakan oleh rahib-rahib itu?”
Dengan keyakinan dalam kepribadian beliau Saw. yang sangat memuncak bahwa segala sesuatu yang telah dikehendaki Allah Swt. pasti akan terjadi. Maka seketika itu beliau Saw. menjawab: “Wahai pamanku, janganlah engkau khawatir dan cemas. Pasrahkan saja diriku kepada kehendak Allah Swt.”
Tak lama kemudian rombongan tersebut meneruskan perjalanannya ke Syam. Sesampainya mereka di kota Bashrah mereka singgah di suatu tempat yang di situ ada seorang rahib Bukhaira yang aslinya bernama Jirjis yang terkenal di daerah tersebut akan ketinggian ilmunya dan kearifannya. Yang mana sebelumnya dia adalah kepala pendeta Yahudi yang senantiasa mencari kebenaran. Setelah ia menemukan kitab Injil yang masih murni, diapun mempelajari dan mendalaminya di bawah bimbingan para pendeta Nasrani yang masih berpegangan pada ajaran-ajaran Nabi Isa As. Lalu dia pun masuk agama Nasrani dan meninggalkan agama Yahudi.
Dan dari kitab Taurat dan Injil dia telah mengetahui ciri-ciri Nabi Akhir Zaman yang sangat agung di sisi Allah Swt. Pada saat datangnya rombongan Quraisy, pendeta Bukhaira tersebut melihat diantara mereka ada seorang anak kecil yang sangat tampan dan anggun, yang selalu dinaungi oleh mega. Dengan penuh takjub diapun terus mengawasi dan memperhatikannya. Kemudian rahib memanggil mereka untuk makan di tempatnya. Rombongan Quraisy merasa heran atas perilaku rahib yang tidak seperti biasanya. Karena sudah sering mereka melewati tempat tersebut, namun tidak pernah dipanggil makan olehnya.
Sesampainya mereka di persinggahan, rahib itupun mendekati beliau Saw. Sembari memegang tangan beliau Saw., rahib itu pun bertanya tentang kepribadiannya. Lalu beliau Saw. menjawab dengan jawaban yang sesuai dengan apa yang diketahui rahib dalam kitab Taurat dan Injil. Lalu rahib bertanya kepada Sayyid Abu Thalib: “Apa hubungan anak ini dengan Tuan?”
Sayyid Abu Thalib menjawab: “Ia adalah anakku.”
Seketia rahib itu berkata: “Sungguh dia bukanlah anakmu.”
Lalu Sayyid Abu Thalib berkata: “Sesungguhnya dia adalah anak saudaraku.”
Rahib itu lalu bertanya: “Bagaimanakah keadaan ayahandanya?”
Sayyid Abu Thalib pun menjawab: “Sesungguhnya ayahandanya telah meninggal pada saat ia masih dalam kandungan.”
Rahib bertanya lagi: “Bagaimana keadaan ibundanya?”
Sayyid Abu Thalib lalu menjawab: “Sesungguhnya ibundanya telah meninggal saat ia masih kecil.”
Rahib itu pun berkata: “Betul, betul apa yang Tuan katakana.”
Kemudian rahib itu membuka baju beliau Saw. dan melihat khatam an-nubuwwah (tanda kenabian) yang sangat akurat sesuai dengan apa yang diketahuinya dalam kitab Taurat dan Injil, yaitu berupa daging tembus pandang dan bercahaya hijau kemerahan, kurang lebih sebesar telur burung dara, tertulis di dalamnya:
ألله وحده لا شريك له
“Allah Maha Esa, tiada sekutu bagiNya.”
Dan tertulis di luarnya:
توجه حيث شئت فإنك منصور
“Pergilah ke mana saja yang engkau inginkan, pasti akan kau dapatkan kemenangan.”
dengan seketika sang rahib pun menciumi tanda kenabian tersebut dengan penuh perasaan keberuntungan dan kebahagiaan seraya berkata: “Sungguh, anak inilah yang akan menjadi nabi dan rasul akhir zaman, sebagai junjungan seluruh alam, kekasih Allah Swt. yang sangat mulia, pembawa rahmat (kebahagiaan bagi alam semesta).”
Kemudian rahib tersebut memohon dengan sangat kepada Sayyid Abu Thalib untuk membawa beliau Saw. pulang ke Makkah. Karena rahib tersebut telah mengetahui bahwa di negara Syam banyak orang-orang Yahudi yang ingin mencelakakannya, walaupun rahib itu sudah sangat yakin bahwa beliau Saw tidak akan bisa terbunuh namun dia mengkhawatirkan terjadinya sesuatu yang tidak diinginkannya.
Dengan rasa belas kasih dan sayang serta cintanya Sayyid Abu Thalib kepada beliau Saw., maka langsung saja ia memutuskan untuk kembali ke Makkah. Sesampainya di Makkah, beliau Saw. selalu didampingi Sayyid Abu Thalib dan paman-pamannya yang lain.
Sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Nawawi al-Bantani dalam kitab Madarij ash-Shu’ud Syarh al-Barzanji halaman 29: “Saat usia beliau Saw. 12 tahun, Sayyid Abu Thalib berencana untuk pergi berdagang ke Syam dan meninggalkan beliau Saw. di Makkah. Namun beliau Saw. memegang tangan Sayyid Abu Thalib seraya memohon agar mengajaknya. Karena cinta dan kasih sayangnya, Sayyid Abu Thalib tak tega untuk menolak permohonan beliau Saw. Kemudian Sayyid Abu Thalib pun berangkat bersama rombongannya dengan menaikkan beliau Saw. di atas ontanya.
Dalam perjalanannya mereka melewati suatu perkampungan. Lalu merekapun menuju ke tempat kepala suku perkampungan tersebut untuk beristirahat. Dan ternyata dia adalah seorang rahib (pendeta) yang berpegang pada kitab Injil yang masih murni dan ia telah mengetahui dari kitab tersebut tentang tanda-tanda Nabi Akhir Zaman.
Kemudian rahib tersebut melihat beliau Saw. dengan penuh takjub karena adanya tanda-tanda kenabian yang telah ia ketahui ada dalam kepribadian beliau Saw. Dengan seketika rahib tersebut bertanya kepada Sayyid Abu Thalib: “Apa hubungan anak ini dengan Tuan?”
Sayyid Abu Thalib menjawab: “Ia adalah anakku.”
Seketika pula rahib berkata: “Sungguh dia bukanlah anakmu. Tidak mungkin orang tuanya masih hidup.”
Sayyid Abu Thalib kemudian berkata: “Ya benar, kenapa kamu bisa mengatakan begitu?”
Rahib tersebut menjawab: “Karena saya telah mengetahui bahwa tanda-tanda Nabi Akhir Zaman ini sangat jelas ada dalam kepribadiannya, dan beliau adalah anak yatim. Tolong jagalah anak ini dari orang-orang Yahudi. Karena kebanyakan dari mereka ingin mencelakainya.”
Setelah cukup beristirahat, rombongan tersebut meneruskan perjalanannya. Beberapa lama kemudian mereka melewati suatu perkampungan yang pemimpinnya juga seorang rahib. Setelah rahib tersebut melihat beliau Saw., maka rahib itupun berkata sebagaimana yang dikatakan oleh rahib yang sebelumnya. Dan berwasiat kepada Sayyid Abu Thalib agar menjaga dan melindunginya dari orang-orang Yahudi. Kemudian Sayyid Abu Thalib berkata kepada beliau Saw.: “Wahai anak saudaraku, apakah engkau mendengar apa yang telah dikatakan oleh rahib-rahib itu?”
Dengan keyakinan dalam kepribadian beliau Saw. yang sangat memuncak bahwa segala sesuatu yang telah dikehendaki Allah Swt. pasti akan terjadi. Maka seketika itu beliau Saw. menjawab: “Wahai pamanku, janganlah engkau khawatir dan cemas. Pasrahkan saja diriku kepada kehendak Allah Swt.”
Tak lama kemudian rombongan tersebut meneruskan perjalanannya ke Syam. Sesampainya mereka di kota Bashrah mereka singgah di suatu tempat yang di situ ada seorang rahib Bukhaira yang aslinya bernama Jirjis yang terkenal di daerah tersebut akan ketinggian ilmunya dan kearifannya. Yang mana sebelumnya dia adalah kepala pendeta Yahudi yang senantiasa mencari kebenaran. Setelah ia menemukan kitab Injil yang masih murni, diapun mempelajari dan mendalaminya di bawah bimbingan para pendeta Nasrani yang masih berpegangan pada ajaran-ajaran Nabi Isa As. Lalu dia pun masuk agama Nasrani dan meninggalkan agama Yahudi.
Dan dari kitab Taurat dan Injil dia telah mengetahui ciri-ciri Nabi Akhir Zaman yang sangat agung di sisi Allah Swt. Pada saat datangnya rombongan Quraisy, pendeta Bukhaira tersebut melihat diantara mereka ada seorang anak kecil yang sangat tampan dan anggun, yang selalu dinaungi oleh mega. Dengan penuh takjub diapun terus mengawasi dan memperhatikannya. Kemudian rahib memanggil mereka untuk makan di tempatnya. Rombongan Quraisy merasa heran atas perilaku rahib yang tidak seperti biasanya. Karena sudah sering mereka melewati tempat tersebut, namun tidak pernah dipanggil makan olehnya.
Sesampainya mereka di persinggahan, rahib itupun mendekati beliau Saw. Sembari memegang tangan beliau Saw., rahib itu pun bertanya tentang kepribadiannya. Lalu beliau Saw. menjawab dengan jawaban yang sesuai dengan apa yang diketahui rahib dalam kitab Taurat dan Injil. Lalu rahib bertanya kepada Sayyid Abu Thalib: “Apa hubungan anak ini dengan Tuan?”
Sayyid Abu Thalib menjawab: “Ia adalah anakku.”
Seketia rahib itu berkata: “Sungguh dia bukanlah anakmu.”
Lalu Sayyid Abu Thalib berkata: “Sesungguhnya dia adalah anak saudaraku.”
Rahib itu lalu bertanya: “Bagaimanakah keadaan ayahandanya?”
Sayyid Abu Thalib pun menjawab: “Sesungguhnya ayahandanya telah meninggal pada saat ia masih dalam kandungan.”
Rahib bertanya lagi: “Bagaimana keadaan ibundanya?”
Sayyid Abu Thalib lalu menjawab: “Sesungguhnya ibundanya telah meninggal saat ia masih kecil.”
Rahib itu pun berkata: “Betul, betul apa yang Tuan katakana.”
Kemudian rahib itu membuka baju beliau Saw. dan melihat khatam an-nubuwwah (tanda kenabian) yang sangat akurat sesuai dengan apa yang diketahuinya dalam kitab Taurat dan Injil, yaitu berupa daging tembus pandang dan bercahaya hijau kemerahan, kurang lebih sebesar telur burung dara, tertulis di dalamnya:
ألله وحده لا شريك له
“Allah Maha Esa, tiada sekutu bagiNya.”
Dan tertulis di luarnya:
توجه حيث شئت فإنك منصور
“Pergilah ke mana saja yang engkau inginkan, pasti akan kau dapatkan kemenangan.”
dengan seketika sang rahib pun menciumi tanda kenabian tersebut dengan penuh perasaan keberuntungan dan kebahagiaan seraya berkata: “Sungguh, anak inilah yang akan menjadi nabi dan rasul akhir zaman, sebagai junjungan seluruh alam, kekasih Allah Swt. yang sangat mulia, pembawa rahmat (kebahagiaan bagi alam semesta).”
Kemudian rahib tersebut memohon dengan sangat kepada Sayyid Abu Thalib untuk membawa beliau Saw. pulang ke Makkah. Karena rahib tersebut telah mengetahui bahwa di negara Syam banyak orang-orang Yahudi yang ingin mencelakakannya, walaupun rahib itu sudah sangat yakin bahwa beliau Saw tidak akan bisa terbunuh namun dia mengkhawatirkan terjadinya sesuatu yang tidak diinginkannya.
Dengan rasa belas kasih dan sayang serta cintanya Sayyid Abu Thalib kepada beliau Saw., maka langsung saja ia memutuskan untuk kembali ke Makkah. Sesampainya di Makkah, beliau Saw. selalu didampingi Sayyid Abu Thalib dan paman-pamannya yang lain.
Minggu, 12 Januari 2014
RASULULLAH SAW. TIDAK MUNGKIN BAU
Dalam kitab as-Sirah an-Nabawiyyah juz 3 halaman 222 disebutkan bahwa sesungguhnya setelah Sayyidah Aminah Ra. melahirkan Nabi Saw., beliau melihat Rasulullah Saw. laksana bulan purnama dan tercium olehnya keharuman yang sangat luar biasa keluar dari tubuh Nabi Saw.
Dan dijelaskan pula di kitab tersebut pada halaman yang sama, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal Ra. meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik Ra. yang berkata: “Sungguh aku belum pernah mencium bau minyak misik dan ambar yang lebih harum dari harumnya tubuh Rasulullah Saw.”
Dalam kitab yang sama halaman 225, Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik Ra.: “Suatu hari Rasulullah Saw. datang berkunjung ke rumah kami. Beliau Saw. kemudian tidur qailulah (tidur di waktu Dhuha) di tempat kami. Tiba-tiba ibuku (Ummu Sulaim binti Malhan Ra., saudara sesusu dengan Nabi Saw.) mendekat ke tempat Nabi Saw. dan memasukkan keringat Nabi Saw. yang menetes ke dalam botol. Ketika Rasulullah Saw. terbangun, ditanya Ummu Sulaim Ra.: “Wahai Ummu Sulaim, apa yang sedang kamu lakukan?”
Ummu Sulaim Ra. menjawab: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku sedang mengumpulkan tetesan keringatmu ke dalam botol untuk kami gunakan sebagai wewangian. Karena bau harum keringatmu melebihi segala keharuman minyak wangi.”
Imam Abu Na’im meriwayatkan hadits dari Sayyidah Aisyah Ra. yang berkata: “Sungguh telapak tangan Nabi Saw. lebih lembut daripada sutera. Setiap Nabi Saw. bersalaman dengan seseorang, niscaya bau harumnya tercium sepanjang hari pada orang tersebut. Bau harum beliau Saw. adalah alami, wujud anugerah mukjizat dan kemuliaan dari Allah Swt. Dan setiap anak kecil yang dipegang kepalanya oleh beliau Saw., maka dapat diketahui di antara teman-temannya dengan adanya bau semerbak yang keluar darinya.”
Pada halaman 222, Imam Abu Ya’la dan Imam ath-Thabarani juga meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah Ra.: “Ada seseorang datang menghadap kepada Rasulullah Saw. dan berkata: “Wahai Rasulullah, aku akan menikahkan putriku, tolong bantu aku wahai Rasulullah.”
Rasulullah Saw. menjawab: “Sahabatku, saat ini aku belum punya sesuatu (untuk membantumu), namun besok datanglah kamu ke sini lagi dengan membawa botol yang lebar ujung/mulutnya serta sepotong kayu.”
Esoknya, sahabat tersebut datang menghadap kepada Nabi Saw. dengan membawa botol dan sepotong kayu. Kemudian Nabi Saw. mengambil botol tersebut dan memasukkan keringat beliau Saw. yang sangat suci dan semerbak harum baunya yang mengalir dari lengannya ke dalam botol tersebut sampai penuh. Beliau Saw. lantas bersabda: “Wahai sahabatku, bawalah botol ini. Sampaikan pada putrimu agar dijadikan sebagai wewangian untuk dirinya.”
Kemudian shahabat tersebut melaksanakan perintah Rasulullah Saw. Sehingga setiap putrinya memakai wewangian tersebut, seketika bau harum semerbak memenuhi sekitar rumahnya sampai para tetangganya menamakan rumah sahabat tersebut sebagai “Bait al-Muthayyabin”, yakni rumahnya orang-orang yang baunya sangat harum.”
Pada halaman 225, Imam Abu Na’im juga meriwayatkan hadits dari Sayyidah Aisyah Ra. yang berkata: “Sungguh Rasulullah Saw. adalah insan yang paling tampan wajahnya dan paling bercahaya kulitnya. Tidak pernah seorangpun yang menyifati beliau Saw. kecuali pasti menyerupakan beliau Saw. dengan bulan purnama. Dan setiap beliau Saw. berkeringat, wajahnya pasti bercahaya seperti mutiara yang indah berkilauan yang baunya sangat harum sekali tiada duanya.”
Dalam kitab Madarij ash-Shu’ud halaman 17 disebutkan bahwa sesungguhnya di saat Rasulullah Saw. lahir, banyak dari kaum Quraisy yang menjenguk dan mengucapkan selamat atas kelahiran beliau Saw. Begitu pulang ke rumah, keluarganya terkejut dengan bau harum semerbak darinya dan menanyakan apakah dirinya memakai minyak wangi? Maka mereka pun menjawab bahwa bau semerbak harum ini bukanlah dari minyak wangi, tetapi dirinya baru saja pulang dari menjenguk Muhammad bin Abdullah Saw.
Sesungguhnya ini semua adalah sebagai anugerah yang sangat agung dari Allah Swt. yang dilimpahkan kepada Rasulullah Saw. dan sebagai mukjizat yang menunjukkan keutamaan dan keistimewaan beliau Saw. di Sisi Allah Swt.
Dan begitupun tak mustahil keistimewaan ini ada juga pada pewaris beliau Saw., yakni al-‘ulama para kekasih (wali) Allah Swt. Maka bisa kita katakan, diantara ciri wali Allah adalah tubuhnya tidak mungkin bau.
Dan dijelaskan pula di kitab tersebut pada halaman yang sama, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal Ra. meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik Ra. yang berkata: “Sungguh aku belum pernah mencium bau minyak misik dan ambar yang lebih harum dari harumnya tubuh Rasulullah Saw.”
Dalam kitab yang sama halaman 225, Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik Ra.: “Suatu hari Rasulullah Saw. datang berkunjung ke rumah kami. Beliau Saw. kemudian tidur qailulah (tidur di waktu Dhuha) di tempat kami. Tiba-tiba ibuku (Ummu Sulaim binti Malhan Ra., saudara sesusu dengan Nabi Saw.) mendekat ke tempat Nabi Saw. dan memasukkan keringat Nabi Saw. yang menetes ke dalam botol. Ketika Rasulullah Saw. terbangun, ditanya Ummu Sulaim Ra.: “Wahai Ummu Sulaim, apa yang sedang kamu lakukan?”
Ummu Sulaim Ra. menjawab: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku sedang mengumpulkan tetesan keringatmu ke dalam botol untuk kami gunakan sebagai wewangian. Karena bau harum keringatmu melebihi segala keharuman minyak wangi.”
Imam Abu Na’im meriwayatkan hadits dari Sayyidah Aisyah Ra. yang berkata: “Sungguh telapak tangan Nabi Saw. lebih lembut daripada sutera. Setiap Nabi Saw. bersalaman dengan seseorang, niscaya bau harumnya tercium sepanjang hari pada orang tersebut. Bau harum beliau Saw. adalah alami, wujud anugerah mukjizat dan kemuliaan dari Allah Swt. Dan setiap anak kecil yang dipegang kepalanya oleh beliau Saw., maka dapat diketahui di antara teman-temannya dengan adanya bau semerbak yang keluar darinya.”
Pada halaman 222, Imam Abu Ya’la dan Imam ath-Thabarani juga meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah Ra.: “Ada seseorang datang menghadap kepada Rasulullah Saw. dan berkata: “Wahai Rasulullah, aku akan menikahkan putriku, tolong bantu aku wahai Rasulullah.”
Rasulullah Saw. menjawab: “Sahabatku, saat ini aku belum punya sesuatu (untuk membantumu), namun besok datanglah kamu ke sini lagi dengan membawa botol yang lebar ujung/mulutnya serta sepotong kayu.”
Esoknya, sahabat tersebut datang menghadap kepada Nabi Saw. dengan membawa botol dan sepotong kayu. Kemudian Nabi Saw. mengambil botol tersebut dan memasukkan keringat beliau Saw. yang sangat suci dan semerbak harum baunya yang mengalir dari lengannya ke dalam botol tersebut sampai penuh. Beliau Saw. lantas bersabda: “Wahai sahabatku, bawalah botol ini. Sampaikan pada putrimu agar dijadikan sebagai wewangian untuk dirinya.”
Kemudian shahabat tersebut melaksanakan perintah Rasulullah Saw. Sehingga setiap putrinya memakai wewangian tersebut, seketika bau harum semerbak memenuhi sekitar rumahnya sampai para tetangganya menamakan rumah sahabat tersebut sebagai “Bait al-Muthayyabin”, yakni rumahnya orang-orang yang baunya sangat harum.”
Pada halaman 225, Imam Abu Na’im juga meriwayatkan hadits dari Sayyidah Aisyah Ra. yang berkata: “Sungguh Rasulullah Saw. adalah insan yang paling tampan wajahnya dan paling bercahaya kulitnya. Tidak pernah seorangpun yang menyifati beliau Saw. kecuali pasti menyerupakan beliau Saw. dengan bulan purnama. Dan setiap beliau Saw. berkeringat, wajahnya pasti bercahaya seperti mutiara yang indah berkilauan yang baunya sangat harum sekali tiada duanya.”
Dalam kitab Madarij ash-Shu’ud halaman 17 disebutkan bahwa sesungguhnya di saat Rasulullah Saw. lahir, banyak dari kaum Quraisy yang menjenguk dan mengucapkan selamat atas kelahiran beliau Saw. Begitu pulang ke rumah, keluarganya terkejut dengan bau harum semerbak darinya dan menanyakan apakah dirinya memakai minyak wangi? Maka mereka pun menjawab bahwa bau semerbak harum ini bukanlah dari minyak wangi, tetapi dirinya baru saja pulang dari menjenguk Muhammad bin Abdullah Saw.
Sesungguhnya ini semua adalah sebagai anugerah yang sangat agung dari Allah Swt. yang dilimpahkan kepada Rasulullah Saw. dan sebagai mukjizat yang menunjukkan keutamaan dan keistimewaan beliau Saw. di Sisi Allah Swt.
Dan begitupun tak mustahil keistimewaan ini ada juga pada pewaris beliau Saw., yakni al-‘ulama para kekasih (wali) Allah Swt. Maka bisa kita katakan, diantara ciri wali Allah adalah tubuhnya tidak mungkin bau.
Sabtu, 11 Januari 2014
NUR (CAHAYA) NABI SAW. BUKAN SEPERTI LAMPU
Dan sesungguhnya haikal (fisik/jasad) Nabi Muhammad Saw. adalah terisi cahaya yang sangat agung dalam jiwanya serta memancar ke seluruh tubuhnya. Sehingga menjadikan beliau Saw. sebagai insan paling sempurna yang sangat anggun nan berwibawa dan sangat luar biasa keindahan dan ketampanannya. Bukan berarti cahaya beliau Saw. seperti lampu, sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-Insan al-Kamil karya al-Muhaddits Prof. DR. as-Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki halaman 22:
أن معنى كونه صلى الله عليه وسلم نورا أي أنه جسم مشع وهذا وهم أو سوء فهم فكأنه بهذا قد جعله صلى الله عليه وسلم مصباحا وسراجا "لمبة كهربائية" وهو صلى الله عليه وسلم أجل وأكرم وأرفع وأعظم من أن يكون كذلك نعم لا مانع عندنا من أنه صلى الله عليه وسلم قد يظهر منه ضوء محسوس كما يسطع من الأجسام المضيئة المشعة ولكن هذا لا يكون دائما وإنما يكون عند الحاجة
“Sesungguhnya mengartikan bahwa Nabi Muhammad Saw. sebagai nur yang jasadnya selalu mengeluarkan sinar adalah suatu pemahaman yang salah. Karena hal itu adalah menyamakan Nabi Muhammad Saw. seperti lampu listrik yang menyala. Padahal hakikatnya beliau Saw. sesungguhnya lebih agung, lebih mulia, lebih luhur dan lebih utama dari hal itu. Maka yang benar adalah bahwa Nabi Saw. dalam dirinya tersimpan nur (cahaya agung) yang terkadang keluar bersinar pada saat-saat tertentu.”
Pada halaman 19 dalam kitab yang sama, Abuya as-Sayyid Muhammad bin Alawi al-Malikiy berkata:
ثبت أنه صلى الله عليه وسلم قد أعطي الحسن كله ولكن هذا الجمال النبوي متوج بأمرين عظيمين الأول الهيبة الجلالية والثاني النور الضيائي ولذلك لم يفتتن به من يراه بخلاف يوسف عليه السلام فإنه مع كونه أعطي نصف الحسن إلا أنه لما رآه النسوة قطعن أيديهن وقلن حاش لله ما هذا بشرا إن هذا إلا ملك كريم
“Sesungguhnya telah ditetapkan dalam riwayat hadits bahwa Nabi Saw. telah dianugerahi Allah Swt. ketampanan wajah yang paling sempurna. Namun ketampanan beliau Saw. diliputi dua hal yang agung:
1. Kewibawaan yang sangat agung.
2. Cahaya yang bersinar kemilauan.
Itulah sebabnya tidak menjadikan fitnah yang mencelakakan bagi orang yang melihat Nabi Saw. Berbeda dengan Nabi Yusuf As. yang dianugerahi Allah Swt. separo dari ketampanan Nabi Saw. (Yang tidak diliputi haibah/kewibawaan sebagaimana Nabi Saw.), sehingga menjadikan para wanita yang melihat Nabi Yusuf As. terpikat sampai mereka tak terasa mengiris-iris tangannya sendiri dengan pisau dan berkata: “Maha Suci Allah, sungguh ini bukanlah manusia biasa, tetapi malaikat yang sangat agung.”
أن معنى كونه صلى الله عليه وسلم نورا أي أنه جسم مشع وهذا وهم أو سوء فهم فكأنه بهذا قد جعله صلى الله عليه وسلم مصباحا وسراجا "لمبة كهربائية" وهو صلى الله عليه وسلم أجل وأكرم وأرفع وأعظم من أن يكون كذلك نعم لا مانع عندنا من أنه صلى الله عليه وسلم قد يظهر منه ضوء محسوس كما يسطع من الأجسام المضيئة المشعة ولكن هذا لا يكون دائما وإنما يكون عند الحاجة
“Sesungguhnya mengartikan bahwa Nabi Muhammad Saw. sebagai nur yang jasadnya selalu mengeluarkan sinar adalah suatu pemahaman yang salah. Karena hal itu adalah menyamakan Nabi Muhammad Saw. seperti lampu listrik yang menyala. Padahal hakikatnya beliau Saw. sesungguhnya lebih agung, lebih mulia, lebih luhur dan lebih utama dari hal itu. Maka yang benar adalah bahwa Nabi Saw. dalam dirinya tersimpan nur (cahaya agung) yang terkadang keluar bersinar pada saat-saat tertentu.”
Pada halaman 19 dalam kitab yang sama, Abuya as-Sayyid Muhammad bin Alawi al-Malikiy berkata:
ثبت أنه صلى الله عليه وسلم قد أعطي الحسن كله ولكن هذا الجمال النبوي متوج بأمرين عظيمين الأول الهيبة الجلالية والثاني النور الضيائي ولذلك لم يفتتن به من يراه بخلاف يوسف عليه السلام فإنه مع كونه أعطي نصف الحسن إلا أنه لما رآه النسوة قطعن أيديهن وقلن حاش لله ما هذا بشرا إن هذا إلا ملك كريم
“Sesungguhnya telah ditetapkan dalam riwayat hadits bahwa Nabi Saw. telah dianugerahi Allah Swt. ketampanan wajah yang paling sempurna. Namun ketampanan beliau Saw. diliputi dua hal yang agung:
1. Kewibawaan yang sangat agung.
2. Cahaya yang bersinar kemilauan.
Itulah sebabnya tidak menjadikan fitnah yang mencelakakan bagi orang yang melihat Nabi Saw. Berbeda dengan Nabi Yusuf As. yang dianugerahi Allah Swt. separo dari ketampanan Nabi Saw. (Yang tidak diliputi haibah/kewibawaan sebagaimana Nabi Saw.), sehingga menjadikan para wanita yang melihat Nabi Yusuf As. terpikat sampai mereka tak terasa mengiris-iris tangannya sendiri dengan pisau dan berkata: “Maha Suci Allah, sungguh ini bukanlah manusia biasa, tetapi malaikat yang sangat agung.”
TIDAK ADA YANG BISA MELIHAT AURAT NABI MUHAMMAD SAW
AURAT NABI SAW. TIDAK MUNGKIN BISA DILIHAT OLEH SIAPAPUN
Baginda Nabi Besar Muhammad Saw., sebagaimana disebutkan dalam kitab Madarij ash-Shu’ud karya Syaikh Nawawi al-Bantani halaman 12, menurut pendapat yang unggul di kalangan ulama Ahlussunnah wal Jama’ah sesungguhnya Nabi Saw. lahir pada saat menjelang fajar hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun Gajah.
Dan sesungguhnya Allah Swt. mempunyai kehendak agar tiada seorang makhluk pun yang melihat aurat kekasihNya, sehingga Nabi Besar Muhammad Saw. dilahirkan dalam keadaan sudah terkhitan dan terputus tali pusarnya. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Sirah Ibnu Katsir juz 1 halaman 208:
عن ابن عباس عن أبيه العباس بن عبد المطلب رضي الله عنه قال : ولد رسول الله صلى الله عليه وسلم مختونا مسرورا
“Abbas bin Abdul Muthallib Ra. berkata: “Sesungguhnya Rasulullah Saw. lahir dalam keadaan sudah dikhitan dan terputus tali pusarnya (dalam keadaan bersih dan suci ).”
Juga telah disebutkan dalam kitab al-Khasha-ish al-Kubra karya al-Imam Jalaluddin Abdurrahman bin Abubakar as-Suyuthi juz 1 halaman 91:
أخرج الطبراني في الأوسط وأبو نعيم والخطيب وابن عساكر من طرق عن انس عن النبي {صلى الله عليه وسلم} انه قال من كرامتي على ربي اني ولدت مختونا ولم ير أحد سوأتي
“Anas bin Malik Ra. berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya diantara kemuliaan yang Allah Swt. limpahkan kepadaku adalah aku terlahir dalam keadaan sudah terkhitan. Sehingga tidak ada satu makhluk pun yang melihat auratku.” (HR. Abu Na’im, al-Khatib dn Ibnu ‘Asakir).
Bahkan ketika Nabi Saw. dilahirkan, Sayyidah Aminah Ra. dan Sayyidah Maryam As. sama sekali tidak melihat auratnya. Yang nampak terlihat hanyalah suatu cahaya yang sangat agung berkilauan. Tidaklah yang terlihat oleh ibundanya (Sayyidah Aminah) selain beliau Saw. sudah dalam keadaan bersih rapi dengan terselimuti sutera putih di atas hamparan sutera hijau dalam keadaan bersujud mengiba ke hadirat Allah Swt. dengan mengangkat jari telunjuknya dan mengucapkan:
ألله أكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة وأصيلا
“Allah Maha Besar dengan segala KeagunganNya. Segala puji bagi Allah atas segala anugerahNya, Maha Suci Allah kekal abadi selama-lamanya.”
Begitu pula ketika Nabi Saw. dalam asuhan Sayyidah Halimah as-Sa’diyyah Ra. Tidak ada seorangpun yang melihat auratnya. Karena setiap hari muncul cahaya dari langit, sebagaimana yang disaksikan sendiri oleh Sayyidah Halimah as-Sa’diyyah Ra. yang berkata: “Sesungguhnya setiap hari muncul cahaya dari langit kepada beliau Saw. dan tidak lama kemudian menghilang.”
Bahkan sesunguhnya istri-istri beliau Saw. pun tidak pernah melihat aurat Nabi Saw. Sebagaimana yang diriwayatkan dalam kitab Subul al-Huda wa ar-Rasyad juz 9 halaman 72:
عائشة رضي الله تعالى عنها قالت: وما رأيت من رسول الله صلى الله عليه وسلم وما رأى مني
“Sayyidah Aisyah Ra. berkata: “Sesungguhnya aku tidak pernah melihat aurat Rasulullah Saw. Dan beliau Saw. pun tidak pernah melihat auratku.
Alhasil, mustahil bagi siapapun bisa melihat aurat Baginda Rasulullah Saw. Sebagaimana diriwayatkan dalam kitab Khashaish al-Kubra juz 2 halaman 411:
وأخرج ابن سعد والبزار والبيهقي من طريق يزيد بن بلال عن علي فإنه لا يرى أحد عورتي إلا طمست عيناه
“Dari Sayyidina Ali Ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya tidak ada seorangpun yang bisa melihat auratku kecuali sebelumnya ia akan menjadi buta.”
Baginda Nabi Besar Muhammad Saw., sebagaimana disebutkan dalam kitab Madarij ash-Shu’ud karya Syaikh Nawawi al-Bantani halaman 12, menurut pendapat yang unggul di kalangan ulama Ahlussunnah wal Jama’ah sesungguhnya Nabi Saw. lahir pada saat menjelang fajar hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun Gajah.
Dan sesungguhnya Allah Swt. mempunyai kehendak agar tiada seorang makhluk pun yang melihat aurat kekasihNya, sehingga Nabi Besar Muhammad Saw. dilahirkan dalam keadaan sudah terkhitan dan terputus tali pusarnya. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Sirah Ibnu Katsir juz 1 halaman 208:
عن ابن عباس عن أبيه العباس بن عبد المطلب رضي الله عنه قال : ولد رسول الله صلى الله عليه وسلم مختونا مسرورا
“Abbas bin Abdul Muthallib Ra. berkata: “Sesungguhnya Rasulullah Saw. lahir dalam keadaan sudah dikhitan dan terputus tali pusarnya (dalam keadaan bersih dan suci ).”
Juga telah disebutkan dalam kitab al-Khasha-ish al-Kubra karya al-Imam Jalaluddin Abdurrahman bin Abubakar as-Suyuthi juz 1 halaman 91:
أخرج الطبراني في الأوسط وأبو نعيم والخطيب وابن عساكر من طرق عن انس عن النبي {صلى الله عليه وسلم} انه قال من كرامتي على ربي اني ولدت مختونا ولم ير أحد سوأتي
“Anas bin Malik Ra. berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya diantara kemuliaan yang Allah Swt. limpahkan kepadaku adalah aku terlahir dalam keadaan sudah terkhitan. Sehingga tidak ada satu makhluk pun yang melihat auratku.” (HR. Abu Na’im, al-Khatib dn Ibnu ‘Asakir).
Bahkan ketika Nabi Saw. dilahirkan, Sayyidah Aminah Ra. dan Sayyidah Maryam As. sama sekali tidak melihat auratnya. Yang nampak terlihat hanyalah suatu cahaya yang sangat agung berkilauan. Tidaklah yang terlihat oleh ibundanya (Sayyidah Aminah) selain beliau Saw. sudah dalam keadaan bersih rapi dengan terselimuti sutera putih di atas hamparan sutera hijau dalam keadaan bersujud mengiba ke hadirat Allah Swt. dengan mengangkat jari telunjuknya dan mengucapkan:
ألله أكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة وأصيلا
“Allah Maha Besar dengan segala KeagunganNya. Segala puji bagi Allah atas segala anugerahNya, Maha Suci Allah kekal abadi selama-lamanya.”
Begitu pula ketika Nabi Saw. dalam asuhan Sayyidah Halimah as-Sa’diyyah Ra. Tidak ada seorangpun yang melihat auratnya. Karena setiap hari muncul cahaya dari langit, sebagaimana yang disaksikan sendiri oleh Sayyidah Halimah as-Sa’diyyah Ra. yang berkata: “Sesungguhnya setiap hari muncul cahaya dari langit kepada beliau Saw. dan tidak lama kemudian menghilang.”
Bahkan sesunguhnya istri-istri beliau Saw. pun tidak pernah melihat aurat Nabi Saw. Sebagaimana yang diriwayatkan dalam kitab Subul al-Huda wa ar-Rasyad juz 9 halaman 72:
عائشة رضي الله تعالى عنها قالت: وما رأيت من رسول الله صلى الله عليه وسلم وما رأى مني
“Sayyidah Aisyah Ra. berkata: “Sesungguhnya aku tidak pernah melihat aurat Rasulullah Saw. Dan beliau Saw. pun tidak pernah melihat auratku.
Alhasil, mustahil bagi siapapun bisa melihat aurat Baginda Rasulullah Saw. Sebagaimana diriwayatkan dalam kitab Khashaish al-Kubra juz 2 halaman 411:
وأخرج ابن سعد والبزار والبيهقي من طريق يزيد بن بلال عن علي فإنه لا يرى أحد عورتي إلا طمست عيناه
“Dari Sayyidina Ali Ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya tidak ada seorangpun yang bisa melihat auratku kecuali sebelumnya ia akan menjadi buta.”
Langganan:
Postingan (Atom)