Dalam kitab Madarij ash-Shu’ud halaman 27 disebutkan: “(Setelah wafatnya sang bunda) kemudian beliau Saw. dibawa pulang ke Makkah oleh Ummu Aiman al-Habasyah. Sesampainya di Makkah, beliau Saw. disambut oleh kakeknya (Sayyid Abdul Muthallib) dengan penuh belas kasih sayang. Dan sejak saat itulah beliau Saw. diasuh langsung oleh Sayyid Abdul Muthallib selama 2 tahun.
Sayyid Abdul Muthallib sangat mencurahkan segenap cinta dan kasih sayangnya di dalam mengasuh dan mendidik beliau Saw., serta memuliakan, mengutamakan, dan lebih mementingkan segala urusan beliau Saw. Karena Sayyid Abdul Muthallib telah mengetahui dan meyakini dengan adanya tanda-tanda dan kejadian-kejadian yang seringkali dialaminya, yang semuanya itu menunjukkan keutamaan dan keistimewaan beliau Saw.
Dan sebagaimana kebiasaan bangsawan Quraisy dan juga anak cucunda Sayyid Abdul Muthallib, mereka mempersiapkan persinggahan untuk Sayyid Abdul Muthallib, dengan menghamparkan permadani yang sangat indah di bawah naungan Ka’bah. Dan mereka (para bangsawan Quraisy dan anak cucu Sayyid Abdul Muthallib) senantiasa menghadirinya dan duduk di sekitarnya demi untuk mendengarkkan mauidzah hasanah, dengan tujuan untuk meningkatkan akhlaqul karimah dan juga untuk menyelesaikan berbagai macam masalah yang mereka alami.
Mereka (suku Quraisy) sangat memuliakan dan mengagungkan Sayyid Abdul Muthallib, karena kearifan, kebijaksanaan dan ketinggian ilmunya. Dan begitu pula beliau sangat memegang teguh ajaran Nabi Ibrahim As., sehingga beliau tidak terpengaruh adat-adat dan budaya jahiliyyah, seperti menyembah patung, minum arak, zina dan lain sebagainya. Dengan kemuliaan dan keutamaan beliau, maka tidak ada seorangpun dari bangsawan Quraisy ataupun anak cucunya yang berani duduk di persinggahan tersebut.
Dan pada suatu saat, Sayyid Abdul Muthallib sedang duduk di persinggahan tersebut untuk memberi mauidzah hasanah, tiba-tiba datang Nabi Saw. dan langsung menuju ke persinggahan tersebut. Serentak putra-putra Sayyid Abdul Muthallib melarangnya. Namun dengan seketika Sayyid Abdul Muthallib berkata dengan suara yang penuh wibawa: “Biarkanlah ia mendekatiku!” Kemudian Sayyid Abdul Muthallib memangku beliau Saw. seraya bersumpah:
فو الله إن لإبني هذا لشأنا عظيما أرجو أن يبلغ من الشرف مالا يبلغه أحد قبله أو بعده
“Demi Allah, sesungguhnya cucuku ini mempunyai keutamaan yang sangat agung, dan aku yakin cucuku ini akan menjadi orang yang sangat mulia yang tiada tandingannya sejak zaman dulu dan yang akan datang.”
Kemudian Sayyid Abdul Muthallib menyuapi beliau Saw. dengan hidangan yang ada di persinggahan tersebut. Dan mereka (para bangsawan Quraisy dan anak cucu Sayyid Abdul Muthallib) memandang beliau Saw. dengan pandangan yang penuh dengan takjub (kagum).
Begitupula setiap harinya di rumah Sayyid Abdul Muthallib, tidaklah disediakan makanan kecuali beliau terlebih dahulu memanggil Nabi Saw. untuk makan bersamanya dengan memangkunya atau duduk di sebelahnya sambil menyuapi dan memilihkan makanan yang terbaik untuk beliau Saw.
Disebutkan dalam kitab as-Sirah an-Nabawiyyah juz 1 halaman 73: “Pada suatu hari datanglah seorang uskup (kepala pendeta Nasrani) dari kota Najran ke Makkah dan menemui Sayyid Abdul Muthallib yang sedang duduk bersama putra-putranya. Uskup tersebut berkata: “Sesungguhnya saya datang kemari adalah untuk memberitahukan kepada Tuan, bahwa saya telah mendapatkan data yang sangat akurat dari Kitab Suci Injil, bahwa sekarang ini sudah tiba masanya datangnya Nabi Akhir Zaman yang sangat suci mulia. Yang mana beliau adalah dari keturunan Nabi Ismail As. dan lahir di kota suci Makkah ini.”
Kemudian uskup tersebut menceritakan tanda-tanda nabi tersebut. Lalu Sayyid Abdul Muthallib memanggil beliau Saw. Sesampainya beliau Saw. di hadapan Sayyid Abdul Muthallib, maka uskup tersebut melihat dan memperhatikan tanda-tanda yang ada pada beliau Saw. Dengan penuh takjub dia berkata: “Sungguh data-data yang kami dapati di kitab kami ada pada anak ini.”
Kemudian uskup tersebut bertanya: “Apa hubungan anak ini dengan Tuan?”
Sayyid Abdul Muthallib menjawab: “Dia adalah anakku.”
Kemudian uskup itu berkata: “Sesungguhnya data yang kami dapati di kitab kami, dia adalah anak yatim.”
Maka Sayyid Abdul Muthallib berkata: “Sesungguhnya dia adalah cucuku, ayah ibunya telah meninggal dunia.”
Maka uskup tersebut berkata: “Ya benar, seperti itulah data yang aku dapati di Kitab Suci kami (Injil).”
Kemudian Sayyid Abdul Muthallib berkata kepada putra-putranya: “Bukankah kalian telah mendengar sendiri apa yang telah dikatakan oleh uskup tersebut? Maka aku perintahkan kepada kalian untuk selalu menjaga dan melindunginya dengan sungguh-sungguh.”
Setiap kali kaum Quraisy mengalami kekeringan di daerahnya, maka bangsawan-bangsawan Quraisy dan kaum di sekitarnya berdatangan menghadap kepada Sayyid Abdul Muthallib dan memohon agar beliau beristisqa’ (berdoa kepada Allah Swt. agar menurunkan hujan). Dan saat itu setiap kali Sayyid Abdul Muthallib melaksanakannya maka ia mengajak masyarakat sekitarnya berbondong-bondong menuju ke atas bukit dengan membawa beliau Saw. untuk bertawassul dengannya. Dan di situlah ia berdoa kepada Allah Swt. Dan hanya berkat beliau Saw. lah maka Allah Swt. mengabulkan doanya dengan seketika.
Sayyid Abdul Muthallib selalu berwasiat kepada putra-putranya untuk senantiasa menjaga, melindungi dan merawat beliau Saw. dengan penuh cinta dan kasih sayang. Dan diantara putra-putra Sayyid Abdul Muthallib yang paling serius untuk menanggapi wasiatnya adalah Sayyid Abu Thalib, saudara kandung Sayyid Abdullah ayahanda beliau Saw.
Dan sesungguhnya Sayyid Abu Thalib seringkali mendengar tentang keutamaan dan keistimewaan beliau Saw. dari ayahandanya. Bahkan ia menyaksikan sendiri peristiwa-peristiwa yang sangat agung dan menakjubkan, sehingga tumbuh dalam hatinya rasa cinta dan kekagumannya yang sangat luar biasa kepada beliau Saw. Maka pada saat Sayyid Abdul Muthallib sudah dekat ajalnya, hanya beliaulah yang ditunjuk untuk merawat Nabi Saw. Dan tak lama kemudian Sayyid Abdul Muthallib pun wafat pada usia lebih dari 110 tahun. Jasad beliau dimakamkan di kuburan yang dikenal dengan nama al-Hajun di Makkah. Dan pada saat itu, Nabi Saw. berusia 8 tahun.
Pada saat meninggalnya Sayyid Abdul Muthalib, beliau Saw. sangat sedih sekali. Bahkan seluruh penduduk Makkah ikut bersedih dan berduka cita sampai berhari-hari atas meninggalnya pemimpin mereka yang sangat mereka cintai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar