1. Definisi Pernikahan
Pernikahan
adalah terjemahan yang diambil dari bahasa Arab yaitu nakaha dan zawaja. Kedua
kata inilah yang menjadi istilah pokok yang digunakan al-Qur’an untuk menunjuk
perkawinan (pernikahan). Istilah atau kata zawaja berarti ‘pasangan’, dan
istilah nakaha berarti ‘berhimpun’. Dengan demikian, dari sisi bahasa
perkawinan berarti berkumpulnya dua insan yang semula terpisah dan berdiri
sendiri, menjadi satu kesatuan yang utuh dan bermitra.
Nikah menurut
syara’ adalah akad serah terima antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan
untuk saling memuaskan satu sama lainnya serta membentuk sebuah rumah tangga
yang sakinah.
Adapun
beberapa dasar hukum tentang pernikahan adalah sebagai berikut:
Al-Qur’an
“ Dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Q.S. Ar-Ruum
(30):21).
As-Sunnah
Dari Abu
Hurairah ra berkata, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
” Tiga
kelompok yang berhak mendapat pertolongan Allah. Mujahid di jalan Allah, budak
yang ingin merdeka, orang yang menikah yang ingin menjaga kesucian (dari zina)”
(HR at-Turmudzi)
2. Hukum Pernikahan
Hukum menikah
dalam pandangan syariah. Para ulama ketika membahas hukum pernikahan, menemukan
bahwa ternyata menikah itu terkadang bisa mejadi sunnah, terkadang bisa menjadi
wajib atau terkadang juga bisa menjadi sekedar mubah saja. Bahkan dalam kondisi
tertentu bisa menjadi makruh. Dan ada juga hukum pernikahan yang haram untuk
dilakukan.
Semua akan
sangat tergantung dari kondisi dan situasi seseorang dan permasalahannya. Apa
dan bagaimana hal itu bisa terjadi, mari kita bedah satu persatu.
Pernikahan Yang Wajib Hukumnya
Menikah itu
wajib hukumnya bagi seorang yang sudah mampu secara finansial dan juga sangat
beresiko jatuh ke dalam perzinaan. Hal itu disebabkan bahwa menjaga diri dari
zina adalah wajib. Maka bila jalan keluarnya hanyalah dengan cara menikah,
tentu saja menikah bagi seseorang yang hampir jatuh ke dalam jurang zina wajib
hukumnya.
Imam
Al-Qurtubi berkata bahwa para ulama tidak berbeda pendapat tentang wajibnya
seorang untuk menikah bila dia adalah orang yang mampu dan takut tertimpa
resiko zina pada dirinya. Dan bila dia tidak mampu, maka Allah SWT pasti akan
membuatnya cukup dalam masalah rezekinya, sebagaimana firman-Nya :
Dan Yang
menciptakan semua yang berpasang-pasangan dan menjadikan untukmu kapal dan
binatang ternak yang kamu tunggangi. (QS.An-Nur : 33)
Pernikahan Yang Sunnah Hukumnya
Sedangkan
yang tidak sampai diwajibkan untuk menikah adalah mereka yang sudah mampu namun
masih tidak merasa takut jatuh kepada zina. Barangkali karena memang usianya
yang masih muda atau pun lingkungannya yang cukup baik dan kondusif.
Orang yang
punya kondisi seperti ini hanyalah disunnahkan untuk menikah, namun tidak
sampai wajib. Sebab masih ada jarak tertentu yang menghalanginya untuk bisa
jatuh ke dalam zina yang diharamkan Allah SWT.
Bila dia
menikah, tentu dia akan mendapatkan keutamaan yang lebih dibandingkan dengan
dia diam tidak menikahi wanita. Paling tidak, dia telah melaksanakan anjuran
Rasulullah SAW untuk memperbanyak jumlah kuantitas umat Islam.
Dari Abi
Umamah bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Menikahlah,
karena aku berlomba dengan umat lain dalam jumlah umat. Dan janganlah kalian
menjadi seperti para rahib nasrani. (HR. Al-Baihaqi 7/78)
Bahkan Ibnu
Abbas ra pernah berkomentar tentang orang yang tidak mau menikah sebab orang
yang tidak sempurna ibadahnya.
Pernikahan Yang Haram Hukumnya
Secara
normal, ada dua hal utama yang membuat seseorang menjadi haram untuk menikah.
Pertama, tidak mampu memberi nafkah. Kedua, tidak mampu melakukan hubungan
seksual. Kecuali bila dia telah berterus terang sebelumnya dan calon istrinya
itu mengetahui dan menerima keadaannya.
Selain itu
juga bila dalam dirinya ada cacat pisik lainnya yang secara umum tidak akan
diterima oleh pasangannya. Maka untuk bisa menjadi halal dan dibolehkan
menikah, haruslah sejak awal dia berterus terang atas kondisinya itu dan harus
ada persetujuan dari calon pasangannya.
Seperti orang
yang terkena penyakit menular yang bila dia menikah dengan seseorang akan
beresiko menulari pasangannya itu dengan penyakit. Maka hukumnya haram baginya
untuk menikah kecuali pasangannya itu tahu kondisinya dan siap menerima
resikonya.
Selain dua
hal di atas, masih ada lagi sebab-sebab tertentu yang mengharamkan untuk
menikah. Misalnya wanita muslimah yang menikah dengan laki-laki yang berlainan
agama atau atheis. Juga menikahi wanita pezina dan pelacur. Termasuk menikahi
wanita yang haram dinikahi (mahram), wanita yang punya suami, wanita yang
berada dalam masa iddah.
Ada juga
pernikahan yang haram dari sisi lain lagi seperti pernikahan yang tidak
memenuhi syarat dan rukun. Seperti menikah tanpa wali atau tanpa saksi. Atau
menikah dengan niat untuk mentalak, sehingga menjadi nikah untuk sementara
waktu yang kita kenal dengan nikah kontrak.
Pernikahan Yang Makruh Hukumnya
Orang yang
tidak punya penghasilan sama sekali dan tidak sempurna kemampuan untuk
berhubungan seksual, hukumnya makruh bila menikah. Namun bila calon istrinya
rela dan punya harta yang bisa mencukupi hidup mereka, maka masih dibolehkan
bagi mereka untuk menikah meski dengan karahiyah.
Sebab
idealnya bukan wanita yang menanggung beban dan nafkah suami, melainkan menjadi
tanggung jawab pihak suami.
Maka
pernikahan itu makruh hukumnya sebab berdampak dharar bagi pihak wanita.
Apalagi bila kondisi demikian berpengaruh kepada ketaatan dan ketundukan istri
kepada suami, maka tingkat kemakruhannya menjadi jauh lebih besar.
Pernikahan Yang Mubah Hukumnya
Orang yang
berada pada posisi tengah-tengah antara hal-hal yang mendorong keharusannya
untuk menikah dengan hal-hal yang mencegahnya untuk menikah, maka bagi hukum
menikah itu menjadi mubah atau boleh. Tidak dianjurkan untuk segera menikah
namun juga tidak ada larangan atau anjuran untuk mengakhirkannya.
3. Rukun Pernikahan
Rukun dalam
pernikahan yaitu:
Ijab
yaitu ucapan
penyerahan calon mempelai wanita dari walinya atau wakilnya kepada calon
mempelai pria untuk dinikahi. Misalnya: “Saya nikahkan kamu dengan Fulanah”.
Qabul
yaitu ucapan
penerimaan pernikahan dari calon mempelai pria / walinya.
Calon mempelai pria dan wanita
Calon
pengantin harus terbebas dari penghalang-penghalang sahnya nikah, misalnya:
wanita tersebut bukan termasuk orang yang diharamkan untuk dinikahi (mahram)
baik karena senasab, sepersusuan atau karena sedang dalam masa ‘iddah, atau
sebab lain. Juga tidak boleh jika calon mempelai laki-lakinya kafir sedangkan
mempelai wanita seorang muslimah. Dan sebab-sebab lain dari
penghalang-penghalang syar’i.
Wali dari calon mempelai wanita
Wali bagi
wanita adalah: bapaknya, kemudian yang diserahi tugas oleh bapaknya, kemudian
ayah dari bapak terus ke atas, kemudian anaknya yang laki-laki kemudian cucu
laki-laki dari anak laki-lakinya terus ke bawah, lalu saudara laki-laki
sekandung, kemudian saudara laki-laki sebapak, kemudian keponakan laki-laki
dari saudara laki-laki sekandung kemudian sebapak, lalu pamannya yang sekandung
dengan bapaknya, kemudian pamannya yang sebapak dengan bapaknya, kemudian
anaknya paman, lalu kerabat-kerabat yang dekat keturunan nasabnya seperti ahli
waris, kemudian orang yang memerdekakannya (jika dulu ia seorang budak),
kemudian baru hakim sebagai walinya
Berdasarkan
sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam:
“Tidak sah
pernikahan kecuali dengan adanya wali” (HR. Imam).
Apabila
seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa wali maka nikahnya tidak sah.
Di antara hikmahnya, karena hal itu merupakan penyebab terjadinya perzinahan
dan wanita biasanya dangkal dalam berfikir untuk memilih sesuatu yang paling
maslahat bagi dirinya. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an tentang masalah
pernikahan, ditujukan kepada para wali:
“Dan
kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu” (QS. An-Nuur: 32)
“Maka
janganlah kamu(para wali) menghalangi mereka” (QS. Al-Baqoroh: 232)
Dua orang
saksi (laki-laki)
Sebagaimana
hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Jabir:
“Tidak sah
suatu pernikahan tanpa seorang wali dan dua orang saksi yang adil (baik
agamanya).” (HR. Al-Baihaqi dari Imran dan dari Aisyah)
4. Sunnah Pernikahan
Do’a dan ucapan selamat untuk pengantin
Disunnahkan
bagi setiap muslim untuk memberikanucapan selamat dan do’a kepada pengantin.
Sebagaimana hadistRasulullah SAW. dari Abu Hurairah r.a. ia berkata “Jika
Nabi,SAW. memberikan ucapan selamat kepada mempelai, beliauSAW. mengucapkan:
“Barakallahu
laka wabaaraka ‘alaika wajama’a baynakuma fii khair”.
“Semoga Allah
mencurahkan kepadamu dan istrimu. Semoga Allah menyatukan kamu berdua dalam
segala kebaikan.” (HR. Bukhari, Muslim).
Mengucapkan Salam ketika hendak masuk ke tempat isteri dengan
mendahulukan kaki kanan
Rasulullah
SAW. bersabda kepada shahabat Anas binMalik r.a.
“Wahai
anakku, jika engkau masuk ke tempat isterimu, hendaknya engkau mengucapkan
salam kepadanya,agar menjadikan keberkahan bagimu dan bagi penghunirumahmu.”
(H.R. At-Tirmidzi).
Do’a ketika mengusap dan meletakkan tangan pada ubun-ubun
isteri
Disunnahkan
pula untuk mengusap dan meletakkan tanganpada ubun-ubun isteri seraya
membaca basmallah dankemudian berdo’a memohon keberkahan:
“Allahumma
inni astaluka wakhairiha jabaltaha ‘alaihi wa a’udzubika min syarrihha wamin
syarrimma jabaltaha ‘alaihi”.
“Ya Allah,
sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikandan kebaikan yang telah Engkau
ciptakan padanya dan akuberlindung kepada-Mu dari kejahatan dan kejahatan
yang Engkau ciptakan padanya”.
Shalat sunnah setelah akad nikah
Tinggal seminggu di rumah mempelai wanita
5. Tujuan Pernikahan
Tujuan dari
pernikahan:
Ittiba’(mengikuti) Sunnah Rasul
Melaksanakan ibadah
Untuk preventif terhadap zina
Melestarikan keturunan suci (kesinambungan eksistensi
manusia)
Membangun sifat kasih sayang sejati
Mewujudkan sifat ta’awun (tanggung jawab/tolong-menolong)
Memperkokoh silaturahmi baik internal keluarga maupun
eksternal masyarakat.
6. Hak & Kewajiban
Suami kepada Istri
Suami
hendaknya menyadari bahwa istri adalah suatu ujian dalam menjalankan agama.
(At-aubah: 24)
Seorang istri
bisa menjadi musuh bagi suami dalam mentaati Allah dan Rasul-Nya. (At-Taghabun:
14)
Hendaknya
senantiasa berdo’a kepada Allah meminta istri yang sholehah. (AI-Furqan: 74)
Diantara
kewajiban suami terhadap istri, ialah: Membayar mahar, Memberi nafkah (makan,
pakaian, tempat tinggal), Menggaulinya dengan baik, Berlaku adil jika beristri
lebih dari satu. (AI-Ghazali)
Jika istri
berbuat ‘Nusyuz’, maka dianjurkan melakukan tindakan berikut ini secara
berurutan: (a) Memberi nasehat, (b) Pisah kamar, (c) Memukul dengan pukulan
yang tidak menyakitkan. (An-Nisa’: 34) … ‘Nusyuz’ adalah: Kedurhakaan istri
kepada suami dalam hal ketaatan kepada Allah.
Orang mukmin
yang paling sempurna imannya ialah, yang paling baik akhlaknya dan paling ramah
terhadap istrinya/keluarganya. (Tirmudzi)
Suami tidak
boleh kikir dalam menafkahkan hartanya untuk istri dan anaknya.(Ath-Thalaq: 7)
Suami
dilarang berlaku kasar terhadap istrinya. (Tirmidzi)
Hendaklah
jangan selalu mentaati istri dalam kehidupan rumah tangga. Sebaiknya terkadang
menyelisihi mereka. Dalam menyelisihi mereka, ada keberkahan. (Baihaqi, Umar
bin Khattab ra., Hasan Bashri)
Suami
hendaknya bersabar dalam menghadapi sikap buruk istrinya. (Abu Ya’la)
Suami wajib
menggauli istrinya dengan cara yang baik. Dengan penuh kasih sayang, tanpa
kasar dan zhalim. (An-Nisa’: 19)
Suami wajib
memberi makan istrinya apa yang ia makan, memberinya pakaian, tidak memukul
wajahnya, tidak menghinanya, dan tidak berpisah ranjang kecuali dalam rumah
sendiri. (Abu Dawud).
Suami wajib
selalu memberikan pengertian, bimbingan agama kepada istrinya, dan menyuruhnya
untuk selalu taat kepada Allah dan Rasul-Nya. (AI-Ahzab: 34, At-Tahrim : 6,
Muttafaqun Alaih)
Suami wajib
mengajarkan istrinya ilmu-ilmu yang berkaitan dengan wanita (hukum-hukum haidh,
istihadhah, dll.). (AI-Ghazali)
Suami wajib
berlaku adil dan bijaksana terhadap istri. (An-Nisa’: 3)
Suami tidak
boleh membuka aib istri kepada siapapun. (Nasa’i)
Apabila istri
tidak mentaati suami (durhaka kepada suami), maka suami wajib mendidiknya dan
membawanya kepada ketaatan, walaupun secara paksa. (AIGhazali)
Jika suami
hendak meninggal dunia, maka dianjurkan berwasiat terlebih dahulu kepada
istrinya. (AI-Baqarah: 40)
Istri kepada Suami
Hendaknya
istri menyadari clan menerima dengan ikhlas bahwa kaum laki-Iaki adalah
pemimpin kaum wanita. (An-Nisa’: 34)
Hendaknya
istri menyadari bahwa hak (kedudukan) suami setingkat lebih tinggi daripada
istri. (Al-Baqarah: 228)
Istri wajib
mentaati suaminya selama bukan kemaksiatan. (An-Nisa’: 39)
Diantara
kewajiban istri terhadap suaminya, ialah: a. Menyerahkan dirinya, b. Mentaati
suami, c. Tidak keluar rumah, kecuali dengan ijinnya, d. Tinggal di tempat
kediaman yang disediakan suami, e. Menggauli suami dengan baik. (Al-Ghazali)
Istri
hendaknya selalu memenuhi hajat biologis suaminya, walaupun sedang dalam
kesibukan. (Nasa’ i, Muttafaqun Alaih)
Apabila
seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur untuk menggaulinya, lalu sang
istri menolaknya, maka penduduk langit akan melaknatnya sehingga suami
meridhainya. (Muslim)
Istri
hendaknya mendahulukan hak suami atas orang tuanya. Allah swt. mengampuni
dosa-dosa seorang Istri yang mendahulukan hak suaminya daripada hak orang
tuanya. (Tirmidzi)
Yang sangat
penting bagi istri adalah ridha suami. Istri yang meninggal dunia dalam
keridhaan suaminya akan masuk surga. (Ibnu Majah, Tirmidzi)
Kepentingan
istri mentaati suaminya, telah disabdakan oleh Nabi saw.: “Seandainya
dibolehkan sujud sesama manusia, maka aku akan perintahkan istri bersujud
kepada suaminya. .. (Timidzi)
Istri wajib
menjaga harta suaminya dengan sebaik-baiknya. (Thabrani)
Istri
hendaknya senantiasa membuat dirinya selalu menarik di hadapan suami(Thabrani)
Istri wajib
menjaga kehormatan suaminya baik di hadapannya atau di belakangnya (saat suami
tidak di rumah). (An-Nisa’: 34)
Ada empat
cobaan berat dalam pernikahan, yaitu: (1) Banyak anak (2) Sedikit harta (3)
Tetangga yang buruk (4) lstri yang berkhianat. (Hasan Al-Bashri)
Wanita Mukmin
hanya dibolehkan berkabung atas kematian suaminya selama empat bulan sepuluh
hari. (Muttafaqun Alaih)
Wanita dan
laki-laki mukmin, wajib menundukkan pandangan mereka dan menjaga kemaluannya.
(An-Nur: 30-31)
7. Wanita Yang Haram Dinikahi
Larangan menikah untuk selamanya (muabbad)
Dibagi
menjadi beberapa:
1. Larangan karena ada hubungan nasab ( qoroobah )
Yaitu:
I b u
Anak
perempuan
Saudara
perempuan
Bibi dari fihak
ayah ( ‘Aammah )
Bibi dari
fihak ibu ( khoolah )
Anak
perempuan dari saudara laki-laki ( keponakan )
Anak
perempuan dari saudara perempuan ( keponakan )
2. Larangan karena ada hubungan perkawinan ( mushooharoh )
Yaitu:
Ibu dari
istri ( mertua )
Anak
perempuan dari istri yang sudah digauli atau anak tiri, termasuk anak-anak
mereka kebawah
Istri anak (
menantu ) atau istri cucu dan seterusnya
Istri ayah (
ibu tiri )
3. Larangan karena hubungan susuan
Ibu dari
wanita yang menyusui
Wanita yang
menyusui
Ibu dari
suami wanita yang menyusui
Saudara
wanita dari wanita yang menyusui
Saudara
wanita dari suami wanita yang menyusui
Anak dan cucu
wanita dari wanita yang menyusui
Saudara
wanita, baik saudara kandung, seayah atau seibu
Larangan menikah untuk sementara (muaqqot)
1.
Menggabungkan untuk menikahi dua wanita yang bersaudara
2.
Menggabungkan untuk menikahi seorang wanita dan bibinya
3. Menikahi
lebih dari empat wanita
4. Wanita
musyrik
5. Wanita
yang bersuami
6. Wanita
yang masih dalam masa ‘iddah
7. Wanita
yang ia thalak tiga
Pernikahan yang terlarang
1. Nikah
dengan niat untuk men-thalaqnya.
2. Nikah
Tahlil, yaitu nikahnya seorang laki-laki dengan seorang wanita yang telah
diceraikan suaminya tiga kali, dengan niat untuk menceraikannya kembali agar
dapat dinikahi oleh mantan suaminya.
3. Nikah
dengan bekas istri yang telah dithalak tiga.
4. Nikahnya
seorang yang sedang ber-Ihrom.
5. Nikahnya
seorang yang dalam masa ‘iddah.
6. Nikahnya
seorang muslim dengan orang kafir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar